
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2015
Tebal : 444 Halaman
Tanpa terasa tujuh belas tahun sudah usia reformasi sejak lengsernya Orde Baru pada 21 Mei 1998. Tentu, banyak perubahan terjadi selama kurun waktu belasan tahun itu. Baik itu sektor pembangunan infrastuktur, dunia pendidikan dan lainnya, yang perlu direformasi adalah cara berpikir masyarakat Indonesia untuk menghadapi era global yang penuh tantangan.
Melalui buku Sedang Tuhan Pun Cemburu, Emha Ainun Nadjib mengajak pembaca mereformasi cara berpikir pembaca demi kehidupan yang lebih baik. Dalam beberapa karya tulisnya, penulis yang akrab disapa Cak Nun itu, kerap menulis tentang pelbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial, seni, budaya, dan juga politik. Kritik pedasnya tentang ketidakadilan dan ketimpangan sosial di masyarakat ditulisnya dalam bentuk esai-esai reflektif yang menggugah kesadaran manusia.
Hal itu bisa ditemui dalam buku-bukunya seperti Slilit sang Kiai, Arus Bawah, Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai, dan beberapa bukunya yang lain. Lewat buku-bukunya yang merupakan bunga rampai dari tulisan-tulisannya yang pernah dimuat media massa, Cak Nun mengajak pembaca merefleksikan kehidupan sehari-hari.
Kritik-kritik serupa juga bisa kita baca dalam buku ini. Buku yang pernah terbit pada 1994 silam menyiratkan bahwa Cak Nun masih konsisten menulis dengan gayanya yang khas; penuh perenungan, serta kritik tajam tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial.
Kritik lain tentang kehidupan sosial, budaya, dan keberagamaan juga bisa kita temukan dalam bab lain buku setebal 444 halaman ini. Dalam bab-bab tertentu Cak Nun menyampaikan perihal yang dianggapnya “tidak layak” dan harus diperbaiki. Tentang kebiasaan para wanita yang menjual harga dirinya dengan menjadi bintang iklan porno untuk kalender, yang dulu pernah marak itu, disampaikan dalam tulisan Sahabat Kita Menjual Gambar Porno (hlm. 199). Atau, tentang seseorang yang menggugat Tuhan karena ketidakadilan yang terjadi di masyarakat dalam tulisan berjudul Lelaki yang Memaki Tuhan (hlm. 23).
Tulisan-tulisan kritis lainnya juga bisa kita baca lebih lengkap dalam buku terbitan Bentang Pustaka ini. Esai-esai yang ditulis Cak Nun dalam buku ini, secara umum merefleksikan betapa panjang pertanyaannya atas hidup.
Semoga dengan usia reformasi ke-17 tahun ini, rakyat Indonesia bisa berpikir jernih dan kritis dalam menyikapi pelbagai masalah yang terjadi. Sehingga, tak mudah terpengaruh dengan adu domba yang datang dari segala arah. [*]
Oleh: Untung Wahyudi
Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya