
Penulis: Muhammad Lefand
Penerbit: Ganding Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2015
Tebal: 152 Halaman
ISBN: 978-602-336-088-8
“Dan Penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidaklah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah” (Q. S. Asy-Syu’ara: 224-225)
Mungkin dengan alasan ayat di atas Muhammad Lefand tidak mau dipanggil Penyair karena para penyair yang digambarkan Al-Qur’an tersebut adalah para penyair yang suka mempermainkan kata-kata dan tidak mempunyai tujuan baik tertentu serta tidak mempunyai pendirian. Kebanyakan penyair digambarkan sebagai pendusta kecuali para penyair yang beriman sebagimana dijelaskan pada ayat selanjutnya. Padahal, Seno Gumira Ajidarna mengatakan pada waktu seminar di INSTIKA Guluk-Guluk, April lalu bahwa “penulis biasa menulis fakta, sastrawan menulis kebenaran”dalam puisi Muhammad Lefand yang berjudul ‘Jangan Panggil Aku Penyair’ sudah secara tegas menyatakan bahwa dia tidak ingin berdusta. Berikut saya tuliskan bait-bait puisinya secara lengkap.
Jangan Panggil Aku Penyair
Telah kubaca firman-Nya
Kuulang-ulang
Jelas sudah peringatan itu
Aku hanya ingin terlepas
Dari segala macam rupa dusta
Dan dusta-dusta
Semua yang kutilis tentangmu
Tentang dia dan kata-kata
Itu bukan dusta
Pada setiap kata
Kutitipkan harap segala harapan
Kadang berupa dzikir dan doa-doa
Aku tak mau jadi pendusta
Meski sebatas Fatamorgana
Dalam Setiap kata
Jember, 07-11-2014
Sejak dari awal bait, Muhammad Lefand telah melakukan penekanan diksi untuk tetap berada di jalan lurus, jalan lurus seorang penyair. Sehingga, tiga halaman sesudah puisi di atas, tepatnya halaman 26, demi sebuah jalan lurus, jalan yang diridhoi Allah Swt., Muhammad Lefand menulis puisi bertajuk ibu, puisi yang ditulis jauh hari sesudah puisi di atas, karena sabagaimana pandangan Islam bahwa Ridho orang tua adalah Ridho Allah Swt.
Dengan sebatas pengetahuan saya, saya menemukan keunikan mengenai jumlah puisi yang terdapat dalam antologi puisi ini, entah disegaja atau tidak. Antologi ini memuat 89 puisi, hal ini mempunyai kesamaan dengan tahun lahir pengarangnya, Muhammad Lefand yaitu 1989.
Mengingat puisi-puisi dalam buku ini penuh pesan moral dan estetika kepenulisan, buku ini patut diapresiasi dan dibaca demi memperluas wawasan dunia perpuisian, ditambah lagi prolog dan epilognya bisa dijadikan media pembelajaran bagi penikmat sastra pemula. Selebihnya selamat menikmati. Salam sastra! [*]
Moh. Tamimi
Mahasiswa Jurusan PBA INSTIKA Guluk-Guluk, aktivis PMII dan penikmat sastra.