
JAKARTA, koranmadura.com – Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Jawa Timur, dengan segala dinamikanya berakhir begitu KH Ma’ruf Amin yang terpilih sebagai pemimpin tertinggi menutup hajat lima tahunan organisasi kemasyarakatan keagamaan Islam terbesar di Indonesia itu pada Kamis (6/8) dini hari.
Forum permusyawaratan tertinggi organisasi “kaum sarungan” itu telah berhasil memilih pemimpin baru untuk lima tahun mendatang, baik di jajaran syuriyah sebagai perumus dan pengendali program organisasi maupun tanfidziyah sebagai pelaksana.
KH Ma’ruf Amin terpilih sebagai Rais Aam, pemimpin syuriyah sekaligus pemimpin tertinggi, setelah KH Ahmad Mustofa Bisri– akrab dipanggil Gus Mus– menyatakan tidak bersedia memangku jabatan itu. Gus Mus merupakan Penjabat Rais Aam pada periode sebelumnya.
Gus Mus, pengasuh Pondok Pesantren Roudlatuth Tholibin, Rembang, Jawa Tengah, sebelumnya ditetapkan sebagai Rais Aam oleh sembilan kiai sepuh yang oleh muktamarin atau peserta muktamar dari jajaran syuriyah NU dipercaya mewakili mereka sebagai ahlul halli wal aqdi (AHWA) untuk memilih pemimpin tertinggi NU.
Kesembilan kiai sepuh itu adalah KH Ma’ruf Amin (Banten), KH Nawawi Abdul Jalil (Sidogiri-Pasuruan/Jatim), Tuan Guru Haji Turmudzi Badaruddin (NTB), dan KH Kholilurrahman (Kalsel).
Selanjutnya, KH Dimyati Rois (Jateng), Syekh Ali Akbar Marbun (Medan/Sumut), KH Maktum Hannan (Jawa Barat), KH Maimun Zubair (Sarang-Rembanhg/Jateng), dan KH Mas Subadar (Pasuruan/Jatim).
Sementara di jajaran tanfidziyah, KH Said Aqil Siroj terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), setelah pesaing terkuatnya KH As’ad Said Ali memutuskan mengundurkan diri dari pencalonan pada putaran kedua pemilihan dalam sidang pleno yang dipimpin Ahmad Muzakki (Sekretaris PWNU Jawa Timur).
Dengan demikian, Said Aqil pun dengan mulus menjadi ketua umum untuk periode kedua. Sebelumnya, ia merupakan Ketua Umum PBNU periode 2010-2015, setelah terpilih dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 23-28 Maret 2010.
Muktamar memberi mandat kepada kedua pemimpin baru itu untuk menyusun kepengurusan PBNU untuk periode lima tahun mendatang bersama tim formatur yang terdiri dari beberapa orang yang dipercaya dari Pengurus Wilayah NU seperti dari Jawa Barat, Jambi, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Papua.
Ketua Panitia Daerah Muktamar ke-33 NU Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul berharap dengan selesainya muktamar maka NU mulai fokus dengan program ke depan, tidak lagi memperpanjang persoalan yang terjadi sebelumnya.
“Betapa pun kerasnya persaingan, setelah muktamar selesai, ya selesai. Sekarang harus ditindaklanjuti dengan sinergi, bukan kompetisi,” kata mantan Ketua Umum PP GP Ansor itu.
Gus Ipul yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur itu mengingatkan bahwa umat menunggu langkah-langkah NU selanjutnya.
“NU diharapkan hadir di tengah masyarakat dengan program yang memikirkan mereka,” kata dia.
Selain berhasil memilih pemimpin baru, Muktamar ke-33 juga menghasilkan berbagai keputusan, rekomendasi, serta program untuk dijalankan pengurusan PBNU periode 2015-2020.
Program dasar yang ditetapkan oleh muktamar adalah penguatan dan penyebaran ajaran “ahlussunnah wal jamaah” (Aswaja) yang merupakan “paham resmi” NU dan pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) NU.
Program dasar itu merupakan pelaksanaan dari visi atau cita-cita NU yakni menjadi “Jam’iyah Diniyah Islamiyah Ijtima’iyah” yang memperjuangkan tegaknya syiar Islam Aswaja, mewujudkan kemaslahatan, kesejahteraan, keadilan dan kemandirian warga NU, dalam wadah NKRI yang berasaskan Pancasila.
Muktamar ke-33 NU memandang penguatan dan penyebaran ajaran Aswaja sebagai agenda penting dan mendesak di tengah maraknya serbuan ideologi Islam transnasional berhaluan keras yang aktif melakukan propaganda secara langsung maupun melalui media,khususnya dunia maya.
“Penguatan Aswaja penting. Orang NU bisa masuk Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, tapi tidak sebaliknya. Kita lemah dalam memegang ideologi kita,” tutur As’ad Said Ali, mantan Wakil Ketua Umum PBNU.
Muktamar ke-33 menilai NU saat ini sepak terjang kelompok Islam garis keras tidak boleh dibiarkan karena selain mengancam Aswaja NU juga akan merusak citra Islam Indonesia yang damai dan santun. Ini tantangan bagi NU di bidang ideologi.
Untuk itu, Muktamar ke-33 merekomendasikan pentingnya langkah yang lebih sistematis dalam menguatkan dan menyebarkan Aswaja, antara lain melalui penerbitan buku, pemanfaatan media massa dan media sosial, serta mencetak juru dakwah yang mampu mentransformasikan ajaran dan nilai-nilai Aswaja secara profesional lewat “Aswaja Center” di seluruh Tanah Air.
“Itulah tantangan kita ke depan yang sangat riil. Selain itu, juga ada tantangan ekstrem kiri, liberal, sekuler, dan seterusnya,” kata Ketua Umum PBNU terpilih KH Said Aqil Siroj.
Said mengatakan dirinya akan berusaha menjaga dan mengawal ideologi Aswaja dan menempa generasi muda karena tantangan yang akan datang akan dihadapi oleh golongan masyarakat tersebut.
“Kami akan kawal Aswaja agar bisa menjadikan Islam yang moderat dan toleran, agar bermanfaat bukan hanya bagi warga NU tapi umat Islam di seluruh dunia,” ujar dia.
Di bidang lain, Said Aqil menyatakan bertekad melanjutkan program PBNU yang belum selesai dilaksanakan pada masa lima tahun kepemimpinannya sebelumnya.
“Alhamdulilah dalam lima tahun PBNU banyak yang diperbuat dan banyak yang belum berhasil. Yang belum inilah yang akan saya tuntaskan bersama,” kata alumnus Universitas Umm al Qura, Mekkah, Arab Saudi itu dalam konferensi pers beberapa saat setelah terpilih sebagai Ketua Umum PBNU masa khidmat 2015-2020.
Namun, kata dia, langkah pertama yang dilakukan adalah merangkul pihak-pihak yang turut berkompetisi dalam muktamar untuk bersama-sama berjuang membesarkan sekaligus mencapai cita-cita NU.
Said Aqil meyatakan akan fokus pada bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan. Untuk organisasi NU, ia ingin melakukan revitalisasi aset serta menerapkan manajemen organisasi modern tanpa meninggalkan peran ulama.
“Saya ingin setiap cabang NU memiliki perguruan tinggi, kalau belum bisa universitas, ya, sekolah tinggi dulu. STAINU (Sekolah Tinggi Agama Islam NU, Red),: kata Guru Besar Ilmu Tasawuf Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur itu.
Dalam laporan pertanggungjawabannya sebelumnya, Said Aqil menyebutkan berhasil membangun 23 perguruan tinggi atau Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) yakni UNU Surabaya, UNU Sidoarjo, UNU Jepara, UNU Cirebon, UNU Pontianak, UNU Lampung, UNU Padang, UNU Kendari, dan UNU Samarinda.
Selain itu juga mendorong STAINU untuk membuka pascasarjana Program Islam Nusantara.
Ia pun ingin setiap cabang NU di kabupaten/kota memiliki lembaga layanan kesehatan, minimal klinik dan kalau memungkinkan sebuah rumah sakit. PBNU periode 2010-2015, menurut dia, berhasil mengembalikan RSI Surabaya dan RSI Demak ke pangkuan NU.
Terkait politik, Said Aqil menegaskan tidak akan melibatkan diri dalam politik praktis yang berorientasi kekuasaan, karena ia tidak pandai dan tidak memiliki pengalaman di bidang itu.
“Kalau saya punya agenda politik tentu saya akan salah karena saya tidak punya pengalaman atau naluri atau kepentingan politik. Jadi, kalau saya bermain politik, nanti saya salah,” kata kiai kelahiran Cirebon, Jawa Barat, pada 3 Juli 1953 itu.
(SIGIT PINARDI/ANT)