
Penulis : Zainollah Ahmad, S.Pd
Penerbit : Araska
Cetakan : 1 September 2015
Tebal : xviii+ 284 Halaman
ISBN : 978-602-300-173-6
Selama ini penulisan sejarah Jember selalu diperdebatkan, sebab penulisan sejarah Jember lebih condong ke arah historiografi kolonial, dengan alasan memiliki sumber data dan keterangan yang lebih valid, serta mudah ditelusuri. Sedangkan historiografi pra kolonial di Jember berada di ruang gelap, yang seolah-olah sangat absurd untuk ditelisik.
“Sejarah Jember” merupakan langkah maju dalam penulisan sejarah. Di mana ujung timur Pulau Jawa ini merupakan wilayah yang nyaris tak pernah tersentuh historiografinya, khususnya sejarah Jember kuno. Selama ini historiografi Jember hanya berkutat pada fragmen materi-materi dan mozaik yang perlu direkonstruksi ulang.
Sejarah Jember kuno merupakan sebuah entitas dan suatu aspek integral dalam jati diri masyarakatnya, sehingga menjadi salah satu instrumen yang dilekatkan pada kepentingan politik dan ideologi, utamanya pada masa kolonial. Akhirnya deskripsi tentang penulisan sejarah Jember seperti sengaja dibuat kabur, hampir tidak bisa ditelusuri, dimulai dari mana dan pada masa apa.
Dengan permasalahan ini, penulis mencoba mendobrak kejumudan sejarah dengan memberanikan diri mengurai sejarah Jember kuno. Benang-benang kusut yang ‘silang sengkarut’ dirangkai kembali dengan menarik benang merahnya yang selama ini bersimpul pada sejarah Blambangan, Lamajang, Majapahit dan lainnya.
Sama halnya dengan historiografi Blambangan yang terpinggirkan dan disebut sebagai negeri ‘Antah Berantah’. Menurut sejarawan Sri Margana, sebenarnya Jember lebih pantas mendapat predikat itu, karena sebagai kota baru, Jember terbentuk dari hasil metamorfosa ofdeling (perkebunan) pada abad ke-18 yang lebih belakangan muncul ketimbang kota lain. Kota ini tidak pernah menyimpan kronik atau babad lokal seperti Blambangan yang bisa di lacak sejarahnya (hal: 15).
Hari Jadi Jember
Sumber arsip kolonial Hindia-Belanda, sebagai dasar Staatblad 322 yang menjadi patokan hari jadi Kabupaten Jember, ternyata banyak mengungkapkan bahwa jauh sebelum ada Regentschap Djember, sudah muncul Regentschap Poeger yang wilayahnya termasuk Kabupaten Jember saat ini. Bahkan juga meliputi Kabupaten Bondowoso. Poeger yang semula berstatus Regentschap Poeger, kemudian direduksi sebagai distrik yang menjadi bagian Afdeling Djember.
Dengan adanya salah satu wilayah Jember yang lebih tua usianya, membuat sejarah Jember menjadi dualism dan ini merupakan sebuah keunikan sejarah. Hal inilah kemudian diaplikasikan oleh para sejarawan lokal sebagai dasar historiografi Jember, dengan menafikan sejarah Jember kuno. Porsi yang tidak seimbang ini tentu bisa melahirkan kesan bahwa Jember tidak memiliki sejarah kuno, melainkan sejarah kolonial saja (hal: 33).
Oleh karena itu untuk meninjau kembali hari jadi kota Jember pada kajian sejarahnya, tidak akan bisa lepas dari pengaruh kuat kolonialis Belanda di Jember. Tetapi yang menjadi kesalahan adalah bentuk pengakuan masyarakat pada eksistensi kolonial tersebut dan segala produknya tentu ini sebuah kesalahan elementer yang tidak dapat ditolerir.
Meskipun disebutkan bahwa beberapa peneliti dan arkeolog Belanda telah mengadakan eksplorasi atau observasi pada obyek kajian cagar budaya, namun hasil jerih payah peneliti itu hanya sampai pada kulit luarnya saja. Hal ini menyebabkan sejarawan lokal kesulitan dalam mencari missing link historiografi Jember. Apalagi untuk mencari data arkeologi yang bisa dihubungkan dengan hari jadi kabupaten (hal: 34).
Buku ini telah memberikan jawaban yang elegan atas kaburnya sejarah Jember kuno. Semoga dengan hadirnya buku ini, dapat menambah wawasan generasi muda yang mulai apatis terhadap sejarah lokal Nusantara. [*]
Oleh: Anwar
Mahasiswa Fakultas Adab dan Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta