Beberapa orde pemerintahan sudah kita jalani. Sejak orde Pemerintahan Soekarno, kita mengawali perjalanan bangsa ini menuju suatu cita bangsa bersama yaitu mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Namun mungkin korupsi telah terlanjur mengakar (deep-rooted) sejak masa kerajaan, hingga koloni telah usai pun korupsi tetap ada.
Analogi korupsi yang terus menerus dilakukan ini mengerikan ibarat parasit yang menghisap pohon. Lama-kelamaan pohon tersebut akan mati dihisap parasit. Koruptor, jika menghisap habis uang rakyat maka rakyat tersebut pun cepat atau lambat akan mati.
Definisi kita tentang korupsi saat ini merujuk pada UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yaitu suatu tindakan melawan hukum yang berujung pada kerugian keuangan negara baik untuk kepentingan sendiri maupun kelompok. Kiranya itu bisa kita sebut sebagai korupsi konvensional. Maka, cukupkah itu untuk mencabut korupsi sampai ke akarnya di negeri ini ?
Mari kita melihat lagi dengan cakupan sasaran yang lebih luas. Bahwa selain keuangan negara yang secara langsung dirugikan, kita perlu memberikan cakupan terhadap korupsi yang seringkali tidak kita sadari secara langsung namun berpotensi pada perbuatan “mengancam dan mencederai kesejahteraan rakyat ” yaitu suatu patologis yang disebut sebagai “korupsi kekuasaan “.
Misalnya pernahkah kita menerima pelayanan yang buruk atas suatu permohonan izin kepada suatu instansi Pemerintah yang bertele-tele dan tidak kunjung selesai? atau melihat hasil pekerjaan proyek pembangunan sarana fasilitas umum yang dibangun secara asal-asalan dan ketika bangunan roboh banyak masyarakat awam yang menjadi korban, atau bahkan sekedar pejabat publik yang membiarkan rakyat miskinnya yang sedang memohon bantuan dalam perizinan urusan adminsitrasi pemerintahan menunggu selama berjam-jam seolah tidak berempati dan tidak peduli?
Parameter yang bisa kita gunakan disini terhadap “korupsi kekuasaan ” ini sederhana saja yaitu menjalankan tugas atau pekerjaan yang tidak memadai atau tidak patut. Maka terhadap hal tersebut, ukuran ini bisa saja dikenakan terhadap berbagai profesi atau jabatan di ranah publik mulai dari kepala desa hingga gubernur, anggota legislatif hingga eksekutif pusat.
Realisasi
Penegakan terhadap korupsi kekuasaan ini akan menimbulkan multiplier effect dari suatu reformasi birokrasi dalam mewujudkan suatu pemerintahan yang baik (good governance). Dalam realisasinya, korupsi kekuasaan ini adalah bagian dari ranah administrasi, dimana penyalahgunaan dalam ranah hukum administrasi adalah melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum. Bahwa sepatutnya seorang pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya, sehingga jauh dari sifat kejahatan maupun kesewenang-wenangan terhadap publik.
Masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil oleh aparatur negara dalam memberikan pelayan publik dapat memasukkan tuntutan ganti rugi dalam surat pengaduannya, dengan menguraikan kerugian (data/fakta) yang ditimbulkan akibat pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan yang dapat diajukan kepada Penyelenggara (satker), ombudsman, dan/atau DPR.
Masyarakat juga dapat menggugat penyelenggara atau pelaksana pelayanan publik tersebut melalui peradilan tata usaha negara apabila pelayanan yang diberikan menimbulkan kerugian di bidang tata usaha negara. Walaupun jika dalam hal penyelenggara pelayanan publik melakukan perbuatan melawan hukum/tindak pidana dalam penyelenggaraan pelayanan publik, masyarakat tetap dapat mengajukan gugatan terhadap penyelenggara ke pengadilan/pihak berwenang.
Namun yang perlu ditekankan disini, bahwa penegakan terhadap korupsi kekuasaan ini lebih ditekankan kepada penegakan hukum administrasi karena hukum administrasi ini sebagai first line inspection yang sifatnya preventif. Adapun sanksi yang dapat dikenakan kepada petugas penyelenggara diantaranya pembebasan dari jabatan, penurunan gaji, penurunan pangkat, hingga pemberhentian dengan hormat ataupun tidak dengan hormat.
Sanksi untuk jenis hukuman yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik ini juga seharusnya dan diharapkan masuk menjadi hukum material dari PTUN. Dimana saat ini berkaitan dengan PTUN yang diatur dalam UU 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang kini telah dibuat beberapa perubahan pasal dalam UU No 9 Tahun 2004 masih lebih banyak hanya mengatur mengenai hukum acara formal untuk mengajukan gugatan di PTUN. Nantinya, gugatan publik yang tidak puas dengan pelayanan pejabat ke PTUN bisa diteruskan ke inspektorat Kemendagri di seluruh Indonesia.
Kesimpulan
Akhirnya mungkin kita tersadar bahwa korupsi kekuasaan ini mungkin setiap hari terjadi dan sering kita alami. Namun jarang terdeteksi apalagi untuk kemudian tersentuh sanksi. Parahnya korupsi ini seringnya bahkan bergandengan dengan korupsi konvensional. Bahkan ada yang mengatakan bahwa korupsi kekuasaan ini dapat menjadi voorklas (taman kanak-kanak) dari korupsi konvensional. Dengan suburnya korupsi kekuasaan yang terjadi juga makin memberi asupan bagi korupsi konvensional.
Maka diharapkan ketika kita telah memperluas ruang lingkup dari korupsi yang sudah ada dan menetapkan sasaran tembak baru pada korupsi kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat publik atau aparat negara diharapkan akan menghancurkan atmosfer lingkungan korupsi. Serta makin memperkokoh (boost) usaha terhadap pemberantasan korupsi karena langsung menyentuh titik stategis dalam atmosfer korupsi. Sehingga perlahan orde hukum antikorupsi yang dicitakan dapat terwujud. [*]
Oleh: Hasian Sidabutar
Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta. Alumnus Universitas Negeri Medan