
Penulis : Joni Ariadinata
Penerbit : Diva Press
Terbitan : Pertama, Januari 2016
Tebal : 456 halaman
ISBN : 978-602-391-028-1
Menulis cerpen lebih mudah dari menulis karya non fiksi karena “hanya” cerita yang belum tentu fakta, namun unsur dan penilaiannya lebih kompleks dan rumit. Kualitas sebuah cerita pendek sangat ditentukan setidaknya oleh alur (plot), penokohan, dan latar (setting), selain tema dan rasa bahasa. Sesuatu yang tidak ditemukan dalam karya non fiksi.
Redaktur Majalah Sastra Horison Joni Ariadinata melalui buku Aku Bisa Nulis Fiksi membimbing dan memandu cara mengasah lebih tajam kemampuan menulis cerpen. Peraih Penghargaan Cerpenis Terbaik Kompas ini membedah prihal bahasa, imajinasi, tema, latar, percakapan, tokoh dan karakternya, konflik dan logika cerita, estetika penulisan, dan lain-lain.
Joni memulai pembahasannya dengan anjuran banyak membaca. Ia menyodorkan sebuah kisah apik tentang penjaga toko yang berkeliling dunia dalam buku. Memang porsi membaca harus lebih banyak daripada menulis. Banyak membaca adalah salah satu cara meningkatkan bobot tulisan (hlm. 15). Ini yang mesti dilakukan pertama kali untuk meningkatkan kualitas tulisan.
Selanjutnya adalah pembahasan tema. Katanya, dari seluruh sejarah kepenulisan karya sastra, nyaris tak ada satu pun penggarapan yang baru dari segi tema. Temanya seputar itu-itu saja. Kemanusiaan, cinta, keadilan, dan semacamnya. Singkatnya, secara tema, materi karya sastra pada dasarnya telah habis.
Namun, bahasa telah membuat para penulis selalu tertantang untuk menuliskan hal serupa pada setiap kurun waktu. Kreativitas menulis cerpen yang mensyaratkan pembaruan pada sesuatu yang baru terletak pada rasa bahasa. Lewat bahasa, ia menemukan muara pencerahan (hlm. 33).
Tema tak harus selalu unggul. Tema cerpen Rekening yang ditulis Novia Erwida sangat sederhana namun menarik. Sementara cerpen Indra Saudaraku yang ditulis Ina Achmar sekalipun dari segi tema unggal tapi karena bahasanya biasa-biasa menjadi kurang bagus. Tema yang unggul saja ternyata tidak cukup menjadi satu ukuran keberhasilan sebuah karya (hlm. 224).
Selain itu, kualitas sebuah tema cerpen sangat ditentukan sejauh mana memberikan pencerahan dan kesan kepada pembacanya. Novel Grotta Azzura Sutan Takdir Alisyahbana dipandang paling gagal lantaran terlampau kering dalam menghadirkan empati: menghadirkan segenap emosi pembaca untuk ikut bermain di dalamnya (hlm. 29).
Oleh karena itu, sebuah latar harus dimainkan, alur dijalankan, karakter tokoh dibentuk, dan bagaimana mengisi dialog-dialognya, beserta deskripsi-deskripsi lain yang dipentingkan. Kata Joni, teori kesusastraan itulah yang membedakan antara karya fiksi dengan karya non fiksi.
Cerpen Pulang ke Bapak yang ditulis Nita Fuji Astuti dari segi latar bisa menjadi contoh tulisan yang baik. Berkisah tentang tokoh yang pulang kampung setelah 16 tahun merantau. Pembaca seakan diajak untuk berkelana menguak jejak-jejak setiap perubahan, sekaligus mencoba menyentuh ingatan pada setiap orang tentang dari mana sesungguhnya ia berasal, komentar Joni (hlm. 77).
Novia Erwida menggarap karakter tokoh cerpen Rekening secara serius. Cerpen ini bercerita perdebatan penggunaan rekening telepon setiap bulannya dalam sebuah keluarga. Novia Erwida telah mampu memainkan tokoh-tokohnya sedemikian rupa sehingga terkesan teramat hidup, puji Joni (hlm. 132).
Buku panduan menjadi penulis ini sangat konkret, bukan sekadar kiat-kiat menulis cerpen. Pembaca diajak belajar langsung dari sebuah cerpen. Joni membedah dengan memberikan pujian dan kritik terhadap setiap karya. Buku ini tidak hanya cocok untuk penulis pemula, tapi juga orang yang belajar kritis sastra. [*]
Oleh: M Kamil Akhyari
Editor lepas