
Penulis : Amartya Sen
Cetakan : I, Februari 2016
Penerbit : Marjin Kiri
Tebal : xxii+242 halaman
ISBN : 978-979-1260-54-1
Pada mulanya adalah identitas, lalu bisa berujung kemelut ganas. Dalam perkembangannya, identitas bisa menjadi persoalan jelimet. Ia tidak hanya mampu melahirkan kebanggaan dan kebahagiaan, menumbuhkan kekuatan dan kepercayaan diri, identitas juga bisa memicu pembunuhan dan kematian sia-sia.
Perkataan yang merisaukan itu dituangkan dalam buku Kekerasan dan Identitas (Marjin Kiri, 2016) karya Amartya Sen, tokoh penting dunia kelahiran 83 tahun silam. Saat berumur 11 tahun, Sen menjadi saksi kekerasan komunal berbasis identitas. Pada Juli 1944, ratusan ribu orang Hindu dan Muslim di India saling membunuh. Bocah itu melihat seseorang tak dikenal tersungkur di pagar halaman rumahnya dengan luka pendarahan mengerikan. Ia memanggil orang tuanya sambil mengambilkan air untuk menolong lelaki terluka itu.
Sayang, saat dilarikan ke rumah sakit, lelaki itu meninggal. Tapi ia sempat berkisah, kedatangannya di daerah konflik itu untuk mencari kerja. Ia butuh duit untuk membeli makanan bagi keluarganya. Ikhtiar bertanggung jawab pada keluarga justru dilibas kemarahan identitas komunal berujung maut. Lelaki itu ditusuk orang-orang yang beridentitas Hindu karena identitasnya sebagai seorang Muslim saja. Bukan identitasnya yang lain, seperti sesama warga negara India, atau sesama manusia, atau seseorang yang mau bertanggungjawab pada keluarganya, dan sebagainya. Parahnya lagi, perseteruan Hindu dan Muslim edisi prakemerdekaan itu bermuara pada pecahnya negeri tersebut menjadi India dan Pakistan. India dianggap beridentitas Hindu, sedangkan Pakistan beridentitas Islam.
Peristiwa bersimbah korban nyawa itu menyadarkan Sen perihal identitas, kebebasan, kesejahteraan, yang sering menimpa manusia tak berdaya. “Hubungan mengenaskan antara kemiskinan ekonomi dan ketidakbebasan menyeluruh (bahkan ketidakbebasan menjalani hidup) adalah kenyataan mengejutkan yang mengguncang benak muda saya dengan kekuatan tak habis-habisnya,” tulis si bocah Sen, ekonom dan filsuf penerima Nobel Ekonomi 1998 asal India.
Pengalaman mengerikan itu kemudian juga membuat Sen menggeluti konsep-konsep dan teori tentang identitas. Kepakaran Amartya Sen bicara soal identitas tak diragukan. Ia sudah berceramah di ratusan universitas kelas dunia. Ia tak segan untuk mengkritik konsep-konsep dan teori moncer yang dianggapnya keliru. Misalnya Sen menilai Mohandas Gandhi, Martin Luther King, Bunda Theresa, dan Nelson Mandela sebagai idiot-idiot besar karena menilai tindakan manusia mementingkan diri sendiri merupakan sesuatu yang “alamiah”. Sen juga melemahkan tesis “benturan antarperadaban” Samuel P. Huntington yang mengotak-kotakkan peradaban hanya berdasarkan agama. Ia pun tak gentar untuk menganggap bodoh Letjen Willian Boykin yang fanatik akut pada Tuhannya sehingga merendahkan Tuhan agama lain.
Semua itu dianggap Sen sebagai ilusi identitas tunggal yang mengerdilkan fakta mendasar tentang manusia multidimensi sekaligus makhluk sosial yang kompleks dan rumit. Dampak pandangan semacam itu tak dapat dikatakan ringan. Ia mampu memecah belah dan membuat dunia ini kian rentan pertikaian. Ilusi tentang identitas tunggal juga berimplikasi pada cara identitas global dipandang dan dipahami. Pilihan antara identitas nasional dan identitas global akan menjadi suatu pertarungan hidup mati.
“Maka, demi menangkal pengerdilan umat manusia, yang menjadi pokok perhatian buku ini, kita dapat pula membuka kemungkinan terwujudnya sebuah dunia yang bisa mengatasi kenangan pahit masa lalunya dan menanggulangi rasa tidak aman di masa kininya yang penuh gejolak,” tulis Sen (hal. 237). Untuk itu diperlukan nalar yang terang untuk membuka selubung ilusi tunggal identitas dan perlunya kesadaran pengakuan mutiidentitas pada seseorang. [*]
Oleh: Hanputro Widyono
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta