Kata Ali RA, sering kemusliman seseorang hanya untuk dirinya. Kepada orang lain bukan akhlaq kemusliman yang dipraktekan. Perilaku keseharian kadang bertolak belakang seperti langit dan dasar sumur.
Solat tekun maksiat sosial jalan. Rajin haji dan umroh tapi praktek korupsi, manipulasi jalan terus. Seakan ubudiyah yang dilaksanakan sangat intens tak terkait perilaku keseharian. Yang terpapar akhirnya seperti penyakit kepribadian ganda. Pribadi sangat alim luar biasa namun dalam kehidupan sosial berperilaku seperti serigala.
Ketika menjadi dokter, pasien dipandang sebagai angka-angka untuk memenuhi pundi-pundi. Saat berdagang konsumen diperlakukan layaknya sapi perah. Mengedarkan kwitansi kosong dianggap hal biasa saat terjun di dunia usaha. Ketika tampil sebagai pemimpin yang mengemuka bukan melayani rakyat tapi menyalahgunakan uang rakyat.
Gus Dur pernah bercerita tentang ironi kedatangan beberapa PSK yang meminta didoakan agar dagangannya laku. Seorang kawan menceritakan dengan sangat terbuka kelakuan saudara tuanya yang tanpa rasa bersalah membungakan uang, termasuk kepada dirinya. “Ia sangat rajin sholat di Masjid. Istrinya sempat berkata bahwa suaminya di masjid bisa jadi hanya berdoa mengharap uang yang dipinjamkan dengan bunga tinggi segera kembali,” papar kawan itu.
Ini mungkin deretan contoh paling ektrim tentang jarak ketaatan keagamaan dan perilaku sosial. Yang faktual berdampak sosial sangat besar mudah sekali ditemukan. Yang paling gampang terlihat data-data Kementrian Dalam Negeri tentang sekitar 330 pimpinan daerah, yang terjerat masalah hukum. Mereka semua mengaku beragama namun agama agaknya hanya ditempatkan di sudut-sudut sempit sekedar persoalan pribadi.
Apa mereka tidak mengerti tentang cara beragama? Atau apakah mereka sebenarnya sangat tahu sehingga memanipulasi keterikatan keagamaan. Sama seperti seorang mengerti tentang hukum lalu mempermainkan hukum, mengetahui cela-cela kelemahan hukum lalu memanfaatkan untuk menggerogoti keadilan.
Tidak mudah menjawabnya. Terlalu cerdas bagi seorang PSK untuk tidak mengetahui apa yang dikerjakannya. Demikian pula rentenir yang rajin ke masjid itu, juga terlalu pintar untuk tidak mengetahui bahwa yang dikerjakannya tergolong dosa amat sangat besar.
Memang ada sebagian dari PSK menggeluti dunianya dengan kesadaran keterpaksaan seperti juga dirasakan dunia usaha yang terpaksa membiarkan transaksi kwitansi kosong, karena kondisi. Seperti diceritakan dalam buku Agama Seorang Pelacur, rasa sesal dari suara nurani paling dalam sering menyelinap.
Persoalannya pada akhirnya lebih tergantung pada cara berpikir memandang dunia ini. Ketika seseorang meletakkan dunia sampai di sanubari, keinginan melabrak rambu-rambu kerap dilakukan tanpa rasa bersalah. Atau rasa bersalah dibiarkan hanya melintas sesaat untuk kemudian kembali dinikmati dengan dibungkus “rasa terpaksa” yang makin tidak terpaksa lagi.
Tiba-tiba terpapar sangat gamblang deretan pesan Tuhan. Ternyata Tuhan menurunkan agama untuk manusia melalui pesan sangat banyak tentang kepedulian pada kemiskinan dan orang nestapa. Tuhan mengingatkan soal itu bahkan menganggap sebenarnya tak beragama mereka yang abai pada orang-orang sengsara.
Mengapa Tuhan sering menegaskan kepedulian pada kemiskinan? Karena di sana manusia dicoba diredam egonya agar tidak mementingkan diri. Ketika kepedulian muncul paling tidak bisa menjadi rem agar manusia tak melabrak pagar halal haram dan terhindar bersikap seperti srigala. [*]
Oleh: Miqdad Husein
Kolumnis, tinggal di Jakarta