
Penulis : Sarah Irving
Penerjemah : Pradewi Tri Chatami
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : I, Januari 2016
Halaman : i-x + 198 halaman
ISBN : 978-979-1260-51-0
Pada umur empat tahun, Leila Khaled merasakan secara ragawi arti tidak memiliki negara dan negeri. Tanggal 9 April 1948, bertepatan dengan ulang tahun Leila yang keempat, dikenang sebagai hari berkabung bagi orang-orang Palestina dan sekaligus episode paling memalukan dalam sejarah pendirian negara Israel.
Lebih dari 100 orang dari 750 orang penduduk Dier Yassin di sekitar Yerusalem dibantai oleh kelompok Irgun dan Geng Stern, milisi yang kerap mengebom, melakukan tindak kekerasan, dan melakukan teror pada komunitas Palestina. Dan pada 11 April, Leila menyaksikan dengan kepala sendiri manusia terbunuh. Dan sejak umur empat tahun, ulang tahun Leila tidak pernah dirayakan kembali.
Pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour mengirim surat kepada Lord Rothschild yang menyatakan bahwa “Pemerintah Sri Baginda memandang positif pendirian tanah air untuk orang Yahudi di Palestina, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini”, yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Balfour. Pada 29 November 1947, PBB yang dikuasai para pemenang Perang Dunia II (juga Eropa) membagi Palestina, sekaligus menjadi pengesahan awal secara internasional bakal berdirinya negara Israel. 14 Mei 1948, di hadapan 250 orang, David Ben-Gurion, ketua Jewish Agency, sudah membacakan proklamasi negara baru untuk Kaum Yahudi di tengah pergolakan penuh darah. Dan pada 15 Mei 1948, Mandat Britania yang kuasanya sudah sangat lemah berakhir, memberi jalan pencanangan negara untuk kaum Yahudi yang lebih permanen.
Akibat peristiwa-peristiwa yang terus berceceran darah di Palestina, sekitar 600.000-750.000 rakyat Palestina meninggalkan rumahnya, sebagian besar menjadi pengungsi abadi. “Nakba” (Bencana), demikian sebutan orang Palestina untuk pendirian negara Israel dalam kehidupan mereka. Keluarga Leila bersama arus massal pengungsi ini, tanpa ayahnya yang terus berjuang, mengungsi ke Lebanon. Di kamp pengungsian, Leila kecil sudah mulai belajar arti tanggal-tanggal penting. “Di sekolah kami biasa berdemonstrasi, selalu, pada tiga hari penting. Bahkan sedari dini kami tahu tiga hari itu: 15 Mei, 2 November, dan 29 November. Tanggal 2 November adalah Deklarasi Balfour. Tanggal 29 November adalah resolusi PBB untuk membagi wilayah Palestina. Aku tidak melebih-lebihkan, tapi semua anak tahu bahwa pada tanggal-tanggal ini kami akan pergi berdemo,” kata Leila.
Tentu saja Leila cukup beruntung. Dia dari keluarga kelas menengah, yang memungkinkan segera pindah ke apartemen meski tak mewah, melanjutkan sekolah, bahkan akhirnya lulus sebagai sarjana muda dengan nilai yang gemilang, dan bisa melanjutkan kuliah di American University of Beirut (AUB) meski tak lulus. Namun, di kampus yang penuh radikalisme politik mahasiswa inilah kematangan pemikiran dan perjuangan politiknya terbentuk. Leila ikut Gerakan Nasionalis Arab yang didirikan George Habash dan Wadi’a Haddad ketika dua orang ini kuliah di (AUB).
Gerakan Nasionalis Arab, yang begitu berilusi menyatukan seluruh kawasan politik Arab yang punya kepentingan berbeda untuk melawan Israel dan sekutunya, ternyata gagal. Leila kemudian bergabung dengan kelompok perjuangan nasionalis marxis yang punya jejaring internasional di Uni Soviet, Amerika Latin (Kuba), juga China: Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (al-Jabhah al-Sha’biyah li Tahrir Filistin). Gerakan ini memadukan perjuang politik dan militer. Leila yang sejak kecil tomboi, lincah, dan cerdas mendapatkan pelatihan militer dan membuktikan diri sebagai fedayen (pejuang Palestina) yang cakap. [*]
Oleh:M. Fauzi Sukri
Koordinator Tadarus Buku di Bilik Literasi Solo