
Penulis : Peter Carey dan Vincent Houben
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : I, Maret 2016
Halaman : xiv + 114 halaman
ISBN : 978-602-6208-16-3
Pada awal abad ke-20, ada sebentuk citra perempuan lemah, domestik, dan tak berkuasa yang tampaknya begitu saja diterima oleh publik Indonesia. Perempuan hanya pantas ada di dapur, kasur, dan berdandan di depan cermin. Hanya pantas menjadi konco wingking (teman ranjang). Tak ada kuasa lebih apalagi sampai pada tingkat perkasa dalam ruang publik.
Tentu saja kita bisa membaca banyak hal tersebut dalam surat-surat Kartini yang hidup dan ditulis pada akhir abad ke-19 dan meninggal (1904) hanya empat tahun setalah memasuki abad ke-20.
Di sinilah dua sejarawan Indonesianis kawakan meneliti dan akhirnya menulis buku kecil ini: Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa XVIII-XIX. Carey dan Houben melacak perubahan besar yang terjadi dengan peran dan kuasa perempuan Jawa sebelum masa kolonial puncak yang terbentang antara Perang Jawa (1825-1830) dan awal pendudukan militer Jepang (1942-1945). Dua sejarawan ini hendak menilik perubahan besar akibat kolonialisme setelah takluknya raja-raja Jawa secara politik dan militer dan pengaruhnya terhadap posisi kuasa perempuan ningrat Jawa.
Yang menarik, dalam sejarah kekuasan keraton di Jawa (Mataram), sebagaimana dituturkan Carey dan Houben, perempuan ningrat Madura sangat mewarnai politik keraton Jawa-Madura. Para perempuan ningrat dari Madura sering dijadikan permaisuri para raja Jawa, seperti Ratu Kedaton (permaisuri Sultan Kedua Jogjakarta). Ada beberapa alasan kenapa perempuang ningrat Madura dinikahi. Yang paling sering adalah politik pernikahan sebagai sebentuk pengendali stabilitas kekuasaan keraton di ujung mancanegara bagian timur.
Secara geografis politis, Madura sering menjadi ceruk ancaman stabilitaspolitik dari timur terhadap kekuasaan politik keraton di Jawa Tengah. Maka, para raja Jawa biasanya mengambil seorang anak raja Maduraatau kyai kuatuntuk dijadikan istri dan dengan demikian menjadi sekutu politik berkat pernikahan. Namun, bagi kaum perempuan posisi ini juga sering dimanfaatkan untuk menunjukkan kekuasaan dan kekuatannya di hadapan kekuasaan raja (bahkan kuasa kolonial Eropa).
Ratu Kedaton yang dari Madura, sebagai contoh, pernah mengorganisasi perlawanan dari dalam keraton untuk memajukan anaknya sebagai raja Jogja bersama Inggris. Akibatnya antara Januari dan Juni 1812, sang ratu dari Madura ini menjalani hukuman kurungan selama empat periode 24 jam di Bangsal Kencono, karena tak mau menyingkapkan “persekongkolan” antara pihak Inggris dan putranya, yang kelak menjadi Sultan ketiga Jogjakarta. Malah, sang ratu semakin memperkuat tekadnya. Residen Belanda, Matthijs Waterloo (menjabat 1803-1808) pernah menulis bahwa “dia [Ratu Kedaton] memiliki semangat Madura yang kuat, yang agaknya tidak surut pada masa tuanya”. Perempuan Madura terkenal sebagai perempuan perkasa, punya daya iniatif, tekad penuh semangat.
Yang sangat menarik, kata Carey dan Houben (hal. 80), “Saya saat ini tertarik dengan pertanyaan apakah memudarnya secara perlahan model matriarki gaya Polinesia dalam garis keturunan perempuan dipengaruhi secara serentak oleh kolonialisme dan Islam?” Pertanyaan ini hanya dibahas sekilas dalam buku ini, masih membutuhkan data penelitian yang jauh lebih banyak lagi, meski keduanya cenderung mengiyakan. Adakah yang mau meneliti dari kalangan (sejarawan) Islam sendiri? Yang jelas, kita bisa mengatakan bahwa perempuan ningrat Jawa dan Madura jauh lebih berkuasa dan perkasa pada abad XVIII-XIX daripada masa RA Kartini. Dan baru bisa berkuasa lagi setelah kolonialisme (Eropa) Belanda hancur, dan semakin lebar peluang berkuasanya di era reformasi setelah kuasa politik otoritarian birokratis Orde Baru ambruk. [*]
Oleh: M. Fauzi Sukri
Koordinator Tadarus Buku di Bilik Literasi Solo