Tak seperti ulama, ustad, kiai lain yang tampil menjadi bintang iklan penyelenggaraan ibadah haji dan umroh, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yakub justru berseberangan untuk tak disebut bertolak belakang sikapnya. Iman Besar Masjid Istiqlal yang wafat pekan lalu itu, dikenal sebagai ulama yang menganjurkan agar ummat Islam cukup sekali berhaji, termasuk umroh.
Lontaran pernyataan yang kadang terasa pedas sering terdengar di berbagai media agar ummat Islam menghentikan kebiasaan berkali-kali berhaji dan umroh. Bukan hanya atas dasar pertimbangan teknis terlalu panjangnya antrian haji. Tokoh bersahaja berlatar belakang NU itu secara konsepsi menegaskan tentang perlunya ummat Islam memprioritaskan ibadah sosial.
Menurutnya, dalam Islam ada dua katagori ibadah yaitu ibadah qashirah (ibadah individual) yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya dan ibadah muta’addiyah (ibadah sosial) yang manfaatnya dirasakan pelakunya dan orang lain. Ibadah haji dan umroh termasuk ibadah qashirah. “Nabi Muhammad ketika bersamaan menghadapi ibadah qashirah dan muta’addiyah, tidak mengerjakan ibadah qashirah. Nabi mengerjakan ibadah muta’addiyah,” jelasnya.
Secara tajam beliau dalam salah satu tulisannya berjudul Haji Pengabdi Setan mempertanyakan perilaku ummat Islam yang berulang-ulang berhaji. Boleh jadi katanya, kepergian mereka yang berkali-kali itu bukan lagi sunnah melainkan makruh bahkan haram.
“Ketika banyak anak yatim telantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak rumah Allah roboh, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak orang makan nasi aking dan banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai, lalu kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, patut ditanyakan apakah haji itu karena melaksanakan perintah Allah?” tanyanya.
Ayat mana, lanjutnya, yang menyuruh ummat Islam melaksanakan haji berkali-kali sementara kewajiban agama sosial masih segudang di depan mata. Kapan Nabi memberi teladan atau perintah seperti itu? Atau sejatinya mereka mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu, agar di mata orang awam disebut orang luhur? “Apabila motivasi ini yang mendorong berhaji, maka berarti ibadah haji yang dilaksankana bukan karena Allah, melainkan karena setan,” tegasnya.
Sebuah gugatan dasyat yang mempertanyakan kebiasaan beragama ummat Islam di negeri ini yang super sibuk mengedepankan ibadah qashirah (individual). Berhaji berkali-kali, berumroh ria, sementara puluhan juta ummat Islam masih berada di bawah garis kemiskinan terabaikan.
Padahal sangat jelas agama diturunkan Allah untuk kepentingan kemanusiaan. Lebih tragis lagi, keinginan mendekatkan diri dan menemui Allah melalui haji dan umroh itu salah alamat. Sebab Allah tak ada di Ka’bah. Allah seperti ditegaskan dalam hadis qudsi, yang dikutif Ali Mustafa, dapat dengan mudah ditemui di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan dan orang menderita. “Allah berada di sisi orang lemah dan menderita,” tegasnya.
Sayang tak banyak ulama, kiai, ustad yang berpikir jernih dan memiliki kepedulian sosial luar biasa seperti Ali Mustafa Yakub. Padahal, kekeliruhan pemahaman keagamaan yang disinyalir beliau itu sudah sangat parah. Setiap hari ribuan ummat Islam negeri ini berumroh ria, tanpa peduli saudara-saudaranya yang untuk makan sehari-haripun sulit. Inilah ironi tragis beragama di negeri ini.
Selamat jalan KH Ali Mustafa Yakub. Semoga pencerahanmu menyadarkan ummat negeri ini. [*]
Oleh: Miqdad Husein
Kolumnis asal Madura