Berapa lama masyarakat negeri ini memerlukan waktu untuk melupakan tragedi Yuyun, yang memilukan itu? Mungkin, seperti kepahitan lain, tak akan terlalu lama. Gegap gempita sekarang ini seperti kepahitan lain sebelumnya hanya perlu waktu sesaat. Bahkan bisa sangat singkat, jika tiba-tiba muncul sebuah peristiwa mengejutkan lain.
Inilah mental dan watak masyarakat negeri ini yang selalu menjadi penghalang terbesar bergerak dinamis. Mudah melupakan peristiwa pahit dan seakan membiarkan peristiwa pahit terulang. Berduka, geger, prihatin “kembali” tanpa ada perubahan berarti.
Kasus tragedi Yuyun berlatar minuman keras (miras) bukanlah kepahitn baru. Miras sudah terlalu amat sering menimbulkan petaka. Entah berapa kecelakaan lalu lintas merengut nyawa akibat pengendara mabok. Entah berapa banyak kasus perkosaan diawali miras. Dan entahlah. Tak terhitung. Belum lagi kematian sia-sia mereka yang berpesta oplosan miras. Semua ramai sesaat dan terulang lagi. Tidak pernah misalnya, ada langkah strategis mengatasi dampak buruk luar biasa dari miras. Lagi-lagi hanya sekeder geger dan geger saja.
Adakah kesadaran masyarakat berusaha keras mengatasi dampak dasyat miras melalui upaya menuntut keseriusan pemerintah? Pernahkah ada langkah kongkrit strategis pemerintah mengatur persoalan miras ? Yang banyak terjadi justru perlawanan membawa-bawa persoalan idiologis ketika pemerintah daerah menerapkan larangan miras. Khawatir menjadikan negeri ini negara Islam kek, dianggap langkah penerapan syariat kek dan sejenisnya.
Coba ingat ketika Menteri Perdagangan Mohammad Gobel melarang miras dijual di Mini Market. Reaksi marak justru terlontar dari kalangan yang menolak atas dasar pertimbangan ekonomis. Sementara dukungan besar kurang terdengar dari masyarakat. Seakan apa yang dilakukan Menteri Perdagangan hanya persoalan ekonomi sederhana.
Ada ironi dasyat terkait miras di negeri ini. Sangat dasyat karena sudah terbukti begitu sering menimbulkan masalah. Ironi dasyat karena tak pernah ada langkah riil strategis mengatur peredaran miras. Operasi penyitaan miras dilakukan tak lebih sekedar seremony perhibur hati sementara pabriknya dibiarkan beroperasi tanpa kontrol.
Lihatlah, warung-warung kecil di sudut-sudut kota bahkan kampung-kampung terutama dekat tempat hiburan. Kemudahan mendapatkan miras seperti air mineral. Bahkan tak perlu berbisik-bisik. Siapapun bisa membeli tanpa perlu menunjukkan KTP. Jadi ada dimana-mana dan siapapun bisa membeli dengan mudah.
Ironis karena negeri ini memiliki falsafah dan ideologi Pancasila, yang bermuatan agamis. Haram penduduk tidak beragama, tapi praktek haram bertolak belakang dengan agama bebas berlangsung tanpa hambatan.
Bandingkan. Seliberal apapun negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat, pengaturan miras sangat luar biasa ketat. Tak bisa dibeli di sembarang tempat. Jangan coba-coba anak dibawah umur membeli atau dilayani oleh penjual. Akan ada resiko hukum berat.
Di tahun 80 an Prof. Dr. Dadang Hawari, sudah nyaring berteriak terhadap praktek pengaturan miras di negeri ini. Bayangkan, di tahun itu saja, peredaran miras sudah jauh dari kontrol aparat hukum. Apalagi sekarang ini. Dan kita, hanya bisa menangis, mengumpat, memaki ketika peristiwa seperti Yuyun terjadi. Sayangnya hanya sebatas itu lalu lupa hingga peristiwa sejenis terulang lagi. Oh.. [*]
Oleh: Miqdad Husein
Kolumnis asal Madura