JAKARTA | koranmadura.com – Kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari tahun ke tahun semakin menurun. Perfomance beberapa aset milik negara ini pun buruk. Bahkan, banyak BUMN justru bernasib hidup enggan mati tak mau. Ini terjadi karena Menteri BUMN tidak melakukan pembinaan kecuali hanya mengurus BUMN yang besar nilai kapitalnya.
“Karena itu, keberadaan Kementerian BUMN layak dibubarkan. Apalagi, belakangan ini, BUMN telah menjadi saluran syahwat pencari kerja para pendukung Presiden,” ujar pemerhati BUMN, Ferdinand Hutahehaen di Jakarta, Minggu (5/6).
Sejauh ini ujar Ferdinand, Kementerian BUMN ini hanya menjadi wahana penyaluran syahwat para pencari kerja politik. Bahkan menjadi tempat penampungan bagi pekerja politik. Akibatnya, fungsinya sebagai tunggang punggung ekonomi menjadi hilang.
Celakannya lagi, keuntungan yang diraih BUMN justru digerogoti oleh “penumpang gelap” kader politik yang sengaja dititipkan di BUMN. Tak mengeherankan, jika cerita rebutan lahan basah di BUMN menghiasi pemberitaan media nasional. “Karena, sangat layak keberadaan kementrian ini untuk dievaluasi,” katanya.
Menurutnya, posisi BUMN saat ini memperihatinkan. Selain kinerjanya jeblok, BUMN justru dijadikan ujung tombak pencari hutang dengan menggadikan aset BUMN sebagai jaminan. “Sejauh itu, fungsi kementrian BUMN tak lebih sebagai calo jabatan BUMN,” tuturnya.
Sikap agresif Menteri Rini Soemarno membuat nasib BUMN diujung tanduk. Ini sangat berbahaya karena BUMN harusnya menjadi motor ekonomi bukan menjadi motor hutang.
“Coba kita telisik nasib BUMN kita sekarang. Seratus lebih BUMN hanya menjadi tempat penampungan para pendukung presiden sejak era Presiden SBY. Sekarang, para pendukung Jokowi mulai gerah dan mempertanyakan mengapa BUMN belum diganti direksi dan komisarisnya dengan pendukung dan relawan? ,” kritiknya.
Seruan senada meluncur deras dari Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi.
Menurutnya, memang sudah seharusnya Kementerian BUMN ini dibubarkan karena tidak efektif dan efisien dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Terbukti, perusahaan-perusahaan BUMN di bawah komando Kementerian BUMN tidak mengalami perkembangan yang signifikan dalam memajukan perusahaan BUMN ini. Justru, banyak perusahaan BUMN yang tidak mengalami perkembangan dari segi finansial sehingga tidak berdampak bagus bagi perekonomian Indonesia. “Bahkan diperparah lagi dengan pelayanan yang tidak baik dari perusahaan BUMN kepada masyarakat atau publik,” ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawidjaja memperingatkan Menteri BUMN Rini Soemarno bahwa Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) telah mengatur bahwa perubahan kepemilikan saham di perusahaan pelat merah harus melalui persetujuan DPR.
Terlebih lagi skema holding energi itu akan menghilangkan BUMN yaitu PGN yang semula sebuah perusahaan BUMN akan beralih status menjadi perusahaan swasta.
Apalagi, aset PGN sangat besar, nilainya mencapai USD 6,5 miliar alias sekitar Rp 84,5 triliun. Semua aset negara dengan nilai di atas Rp 100 miliar harus mendapat persetujuan DPR kalau dialihkan kepemilikannya.
Menurut Azman, tentu tak masuk akal jika pengalihan kepemilikan aset negara sebesar itu tidak melalui pembahasan dengan wakil-wakil rakyat. “Bu Menteri BUMN harus lihat dengan UU Nomor 19 Tahun 2003. Dalam UU tersebut, pengalihan aset, walaupun ke sesama kekayaan negara, kalau nilainya di atas Rp 100 miliar harus izin DPR,” pungkasnya. (GAM)