“Mari rasakan lapar mereka! Resapi nestapanya!” Begitulah pesan subtansi sosial ibadah puasa, yang mulai hari ini dilaksanakan ummat Islam di seluruh dunia. Sebuah pesan kemanusian yang tidak lagi berbentuk spanduk atau slogan penuh retorika. Sebuah peribadatan yang menggugat nilai kemanusian melalui proses aplikatif yang diharapkan dirasakan dan dialami secara personal, agar bangkit kepedulian pada sesama.
Melalui ibadah puasa, tidak makan dan minum sepanjang hari ummat Islam sedang dibangkitkan relasi dan kepekaan sosialnya. Jika sepanjang tahun ada batas dan jarak sosial dengan mereka yang hidup termarginalkan, jauh dari kemujuran, melalui ibadah puasa batas-batas itu dicoba dirobohkan. Bahwa ada orang-orang di sekitar yang selama ini terabaikan karena kondisi sosial berbeda. Mereka tidak pernah dianggap atau kurang dipedulikan bisa jadi karena kepahitannya tak pernah dirasakan oleh mereka yang kebetulan beruntung.
Memang secara logika sosial tidak mudah mengembangkan kepedulian ketika seseorang kurang mengetahui bagaimana orang lain merasakan kepahitan. Bahkan sangat mungkin ketika mengetahuipun derita orang lain kepekaan belum tentu terusik karena egoisme, kepentingan diri sendiri lebih mendominasi.
Di sinilah subtansi tujuan puasa secara sosial. Manusia yang mendapat keberuntungan hidup –bisa jadi telah diberitahu- yang belum tergugah kepekaannya pada persoalan kemanusiaan dilibatkan dalam pahit sesungguhnya, yang dirasakan saudara-saudaranya yang kurang beruntung. “Rasakan lapar mereka. Camkan jika seandainya rasa lapar sesungguhnya menimpa dirimu.”
Puasa memang merupakan ibadah paling langsung menggugah nilai kemanusiaan. Kesadaran ketuhanan, keterikatan keagamaan manusia melalui ibadah puasa dipertegas. Bahwa agama diturunkan Tuhan pada dasarnya untuk mendorong manusia agar peduli pada sesama. Agama diturunkan Tuhan agar memberikan manfaat kepada manusia melalui kesadaran kebersamaan, kepedulian antar sesama.
Puasa bahkan membangkitkan kepedulian melalui pendekatan sangat persoanal ketika rasa lapar dan haus manusia berlangsung tanpa perlu pengakuan orang lain. Rasa lapar dan haus dipraktekkan sendiri, sama sekali jauh dari pengamatan, pengawasan orang lain. Sangat terasa di sini bahwa ketika ingin merasakan derita nestapa orang lain sepenuhnya atas dasar titik tolak kesadaran diri. Tak ada orang lain yang perlu mengetahui. “Puasa itu untukKu,” firman Allah. Sebuah penegasan betapa sangat personalnya ibadah puasa, yang hanya menyambungkan tali hubungan manusia dengan Tuhannya.
Tertangkap jelas bahwa melalui ibadah puasa kepedulian, semangat kemanusiaan manusia diharapkan tumbuh atas dasar titik tolak dari kesadaran serta pemahaman dirinya. Bukan karena berangkat dari kepentingan apapun. Bahwa agama antara lain melalui perintah pelaksanaan ibadah puasa pada khakekatnya bertujuan mewujudkan keselarasan hubungan antara sesama manusia, melalui semangat kebersamaan, sikap kasih antar sesama.
Semoga puasa tahun ini makin menajamkan kepekaan ummat Islam pada nestapa sesamanya, terjalin persaudaraan senasib dan sepenanggungang. Marhaban Ramadahan. Selamat menunaikan ibadah puasa. [*]
Oleh: MH. Said Abdullah
Anggota DPR RI, asal Madura