Lagi perbincangan Peraturan Daerah (Perda) Syariat meramaikan jagad negeri ini. Media, media sosial seperti pasar menjelang lebaran membicangkan Perda Syariat. Dua hal paling tidak yang menjadi pemicu diskusi “ulangan” yang entah sudah berapa kali itu. Pertama terkait rencana pencabutan 3143 perda oleh Kemendagri; kedua kasus Satpol PP yang bertindak lebay pada Warung Tegal, di Serang, Banten.
Dua hal itu sebenarnya tak ada hubungan langsung. Yang pertama sebagai langkah riil pemerintah melakukan semacam verifikasi perda-perda yang dianggap bermasalah. Sebenarnya lebih banyak terkait perda investasi yang dinilai Presiden Jokowi banyak menghambat upaya pengembangan usaha. Entah siapa yang memulai tiba-tiba mencuat pula perbincangan mencabut Perda Syariat. Karuan saja persoalan itu memunculkan perdebatan relatif panas.
Munculnya kasus Warteg, yang memang terkait penertiban atas dasar perda beraroma syariat seperti menebar minyak pada api. Aroma panas makin menyebar. Untunglah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa tak ada dalam list pencabutan perda beraroma syariat. Angin semilirpun pelan berhembus kembali. Berbagai reaksi panas dari Aceh, Sumatra Barat dan daerah lainnya pelan kembali “adem.”
Pertanyaannya apakah bangsa ini masih saja mau terjebak perdebatan-perdebatan yang mengulang masalah sama dari waktu ke waktu. Lebih parah lagi ketika perdebatan cenderung sebatas persoalan kulit, simbol bukan pada subtansi atau meteri pasal-pasal perdanya. Selalu saja melingkar-lingkar pada pertikaian yang sebenarnya tak jauh dari kata ”syariat.”
Mereka yang bersemangat menolak terkesan membawa trauma idiologis perdebatan klasik Piagam Jakarta. Seakan ketika diterapkan Perda Syariat negeri ini akan menjadi negara Islam. Yang konyol lagi khawatir negeri ini berubah menjadi Islamic State Indonesia alias ISIS minus huruf S. Ahai.
Lalu yang bersemangat meneriakkan syariat tak kalah lebay terutama -lagi-lagi terkesan simbolik. Sudah tahu kata syariat bikin orang lain gemetaran masih saja dengan gagah dikedepankan dan bukan subtansi atau pasal-pasal hukum yang diprioritaskan.
Secara logika hukum sebenarnya tak ada hal luar biasa jika sebuah daerah ingin menerapkan ajaran agama pada masyarakat melalui penerapan perda. Sah saja sebagai bagian dari peran pemerintah daerah dalam mendorong, mengarahkan, membimbing, mendidik masyarakat agar lebih intens melaksanakan keyakinannya. Bukankah keberadaan pemerintah agar masyarakat menjadi lebih baik? Apakah itu kehidupan ekononominya, pendidikannya, kelakuannya termasuk hal paling mendasar bagaimana ketekunan dalam beragama, sebagai faktor paling mendasar.
Berbagai niat baik itu silahkan saja diproses berdasarkan mekanisme hukum di negeri ini. Diusulkan, diperdebatkan ke publik, didiskusikan di DPRD lalu jika kemudian layak ditetapkan sebagai perda. Selesai. Tak perlu diributkan apalagi sampai dituding macam-macam, dikaitkan lagi dengan persoalan idiologis. Lha katanya soal Pancasila selesai kenapa masih saja mencurigai perda yang tak lebih sekedar melaksanakan nilai-nilai agama.
Seharusnya perdebatan pasal-pasal perda diposisikan sebatas diskusi pasal-pasal hukum. Tidak lebih. Lantas ketika sudah diterapkan dievaluasi efektivitasnya. Perlu diperbaiki, ditambah pasal atau dicabut; semua didiskusikan wajar dan biasa saja, seperti pasal-pasal hukum lain. Tak usah emosional dalam mendiskusikan dan meresponnya.
Soal idiologis sudah selesai. Pancasila sudah final. Mari berdebat dan berdiskusi cerdas bagaimana melaksanakan Pancasila dalam kehidupan keseharian. Itu saja. [*]
Oleh: Miqdad Husein
Kolumnis asal Madura