Simaklah media sosial dari saat jelang sampai pasca Idul Fitri 1437 Hijriyah. Cermati dengan jeli dan teliti. Begitu dominan foto-foto bersama berbagai komunitas dari keluarga, pertemanan, ikatan organisasi dan lainnya. Hampir semua jejaring sosial dan alat komunikasi seperti Facebook, twitter, two, whatsapp, BBM dipenuhi foto-foto sejenis.
Sungguh sangat menyegarkan dan kadang menggugah rasa haru. Apalagi ketika yang dilihat memiliki kaitan psikologi, hubungan persaudaraan dan pertemanan kadang tanpa disadari air mata menetes. Sebuah ekspresi kesegaran kemanusiaan terpapar indah mencairkan ketegangan, rasa lelah setelah sepanjang tahun dalam belantara penuh jelaga dan kendala, serta kadang bagai di arena pertarungan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Inilah anatomi idul fitri di era Medsos yang didukung perangkat digital. Semua terpampang dan saling memberikan informasi seakan berlomba menunjukkan rasa bahagia, rasa syukur dan keceriaan. Foto anak-anak balita dengan berbagai gaya menggemaskan melengkapi suasana kebahagiaan hari kemenangan ummat Islam .
Siapapun mudah tergoda menjadi bagian kehidupan Medsos. Dari pejabat tinggi sampai rakyat jelata yang memiliki ponsel memadai saling adu cepat dan berlomba berusaha menjadi paling unik serta menarik. Semangatnya bukan ingin menjatuhkan tapi berusaha saling membahagiakan.
Mengirim humor cerdas ataupun gambar-gambar lucu suasana idul fitripun seperti melengkapi dunia Medsos. Diam-diam -bisa jadi- pengelola media resmi ketar ketir ketika Medsos ternyata mulai lebih menggoda perhatian masyarakat. Apalagi ketika Medsos pun tak kalah lengkap menyediakan berbagai menu infomasi kebutuhan masyarakat modern.
Kecepatan penyebaran berbagai hal melalui Medsos dan alat komunikasi benar-benar seperti berpacu dengan website atau media pemberitaan formal. Fakta bahwa informasi di sekitar Medsos kadang lebih cepat dari pemberitaan televisi, radio, website makin sulit diingkari walau kadang sumber berita tetap dari media resmi. Tetapi paling tidak pada aspek penyebaran Medsos mulai mengganggu media resmi.
Tak ada kejelasan apakah ini juga seperti disinyalir Alvin Tofler, futurolog, sebagai bentuk demissifikasi atau penciutan, penyempitan komunitas pemberitaan. Atau bisa juga alat komunikasi personal itu seperti berfungsi sebagai holding dalam arti positif atau bentuk perlawanan terhadap media konvensional seperti televisi, radio, termasuk website.
Bisa dibayangkan jika kekuatan media formal saja, yang selama ini dianggap pilar demokrasi keempat –diluar legislatif, eksekutif, yudikatif- sudah mulai tergerus perannya apalagi yang hanya sekedar berperan pelengkap. Interaksi antara Medsos dan alat komunikasi komunitas kecil tak bisa diingkari sudah mewujud menjadi kekuataan menggurita.
Tak ada kekuatan yang bisa menghambat arus dahsyat ini bahkan termasuk yang bernama persepsi sempit keterikatan keagamaan. Hampir tidak mungkin vonis menyebut Medsos sebagai bid’ah akan didengar atau diperhatikan. Sebab para “hakim” itupun diam-diam menjadi bagian dari arus dasyat Medsos.
Kearifan, kejelian, kemampuan memanfaatkan secara cerdaslah yang perlu dikembangkan dan bukan menantangnya. Bagaimana mengisi konten-konten Medsos dengan nilai-nilai spirituallah sebagai respon paling rasional menghadapi dunia Medsos, yang menyelusuf ke seluruh sendi kehidupan. Foto-foto silaturrahmi, pesan-pesan moral yang sepanjang bulan ramadhan bertebaran bisa jadi pilihan sebagai respon aktif dan bukan justru menentangnya dengan menvonis sebagai bid’ah. [*]
Oleh: Miqdad Husein
Kolumnis asal Madura