Di ujung Ramadan menjelang momen kemenangan yang ditandai perayaan Idul Fitri, situasi damai tercemari aksi individu atau yang mewakili kelompok penganut anarkisme baik di Solo maupun di Arab. Satu cedera di Solo, lima orang lainnya meninggal di Arab dan dua terluka pada bom yang meledak di tiga tempat (Madinah, Qatif, dan Jeddah).
Boleh jadi, meski berselang satu hari, tanggal 4 Juli 2016 di Arab dan 5 Juli 2016 di Solo, dua kejadian ini dilakukan kelompok sealiran atau sama sekali tidak sehaluan. Tetapi bentuknya, pasti sama, terorisme.
Keduanya merupakan tindakan kriminal, musuh yang menyerang kedaulatan negara dan keamanan masyarakat. Seluruh komponen bangsa terpanggil dalam upaya pencegahan terorisme. Ia merupakan musuh semua agama dan seluruh negara karena tidak ada satupun agama mengajarkan kekerasan dan kebrutalan.
Bila diamati, aksi terorisme merupakan akibat dari rasa ketidakpuasan, kekecewaan dan keputusasaan kelompok tertentu di berbagai persoalan. Bisa jadi, teroris kecewa terhadap kondisi atau persoalan politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Lalu ia berulah supaya mendapatkan perhatian.
Dalam konteks republik ini aksi terorisme jauh dari rasional. Sebab tidak ada kondisi anti dialog dimana perbedaan cara pandang tidak serta merta harus diselesaikan dengan model barbarian. Semua agama di negeri ini, termasuk ruang publik selalu terbuka upaya perundingan atau bertemu dengan perdamaian.
Ada hal yang juga dilupakan kelompok terorisme ini bahwa teror sebenarnya bukan merupakan tindakan seksi lagi. Bila diperhatikan, saat terjadi teror di Thamrin pertengahan Januari lalu, sejumlah publik melawan dengan mengatakan “Kami tidak takut teror.”
Karena itu seharusnya teroris perlu melakukan revolusi mental dengan membuat aksi lebih populis-inovatif supaya mendapatkan perhatian publik. Bom bunuh diri, meledakkan fasum (fasilitas umum) maupun tempat vital dengan atau tanpa korban adalah masa lalu. Dus, teroris pada akhirnya menjadi common enemy dan teralienasi.
Karena itu, teroris pada akhirnya teralienasi dari alam, dari aktivitasnya sendiri, teralienasi dari species-being (dari dirinya sebagai anggota dari human-species) dan terasing dari manusia lain. Sebuah kondisi di mana manusia menjadi asing terhadap dunia tempat mereka hidup.
Terorisme muncul menjadi gagasan dan tindakan yang menghendaki disharmoni terhadap manusia yang hidup dalam damai. Ia merebak lantaran ada semacam perpecahan atau keterputusan yang membuat dirinya merasa seperti orang asing di dunianya sendiri.
Di saat umat hendak berharmoni dengan keadaan dalam damai lebaran, teroris melakukan “budaya tanding” dengan cara menebar angin. Ini terjadi karena teroris tidak berkelindan dengan alam melainkan terpuruk pada antiklimaks kenyataan.
Barangkali, suatu ketika akan hadir masa dimana para “alien” akan teratasi dan kemanusiaannya kembali hidup dalam harmoni dengan dirinya sendiri dan dengan alam. Tetapi, dalam konteks menyamakan persepsi untuk mendidik (melawan) terorisme, semua perlu bersatu untuk melawan sehingga kebersatuan itu, pada akhirnya menjadi kuat. Hari ini, berdoa saja tidak cukup terutama pada posisi Tuhan yang tidak terlalu teknis dalam ramadan maupun lebaran sekalipun. Perlu tindakan nyata sebagai respon aktif. [*]
Oleh : MH. Said Abdullah
Anggota DPR RI, asal Madura