Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 sudah berlalu. Suasana kemerdekaan tentu tidak terbatas pada acara seremonial dengan pengibaran bendera Merah Putih, melainkan harus senantiasa terjaga selamanya.
Menjaga suasana kemerdekaan saja tentu tidak cukup. Sebab, suasana yang demikian itu justru dapat menjadikan rakyat terjerambab pada lorong romantisme masa lalu, yang dalam jangka panjang akan berdampak terhadap kualitas hidup. Untuk itu, segenap rakyat Indonesia harus menyadari bahwa kemerdekaan yang sudah didapat dimaknai secara arif, yakni menjadi bagian dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Untuk menuju semua itu, modal yang paling utama adalah menancapkan semangat kebangsaan. Adalah benar bahwa banyak cara yang dilakukan orang untuk mengekspresikan semangat kebangsaan terhadap bangsa tercintanya, misalnya seorang guru, semangat itu diejawantahkan dalam bentuk mengajar dengan sebaik-baiknya dan menjalankan tugas dan tanggung-jawab dengan penuh ihlas. Lazimnya, semangat tersebut dilakukan oleh segep guru.
Lantas, bagaimana cara mahasiswa untuk mengekspresikan semangat kebangsaan? Mahasiswa dengan segala atribut yang disematkan dalam dirinya mempunyai tugas lebih berat dalam konteks kebangsaan.
Jauh sebelum menjawab pertanyaan mendasar diatas, kiranya mengulas kondisi mahasiswa kekinian dalam konteks semangat kebangsaan patut dilakukan. Cuher Santoso (2016) dalam tulisannya berjudul ‘Mahasiswa Makhluk Paradoks’ mengorek kelakukan mahasiswa kekinian. Secara sengaja dan terencana, ia mengatakan bahwa mahasiswa adalah makhluk paradoks; sering mengatasnamakan rakyat, tetapi juga sering menyia-nyiakan uang rakyat. Hal itu terbukti, kursi yang diduduki para mahasiswa sesungguhnya adalah uang petani yang membayar pajak tanahnya kepada pemerintah, akan tetapi mahasiswa—untuk tidak menyebut seluruhnya—disia-siakan, buat tidur, gojek, dan lain sebagainya. Bagaimana petani ditidak kecawa berat melihat realita yang demikian ini?
Lebih jauh dari sekedar itu, mahasiswa yang mendapatkan mandapatkan amanat dari rakyat untuk menempa diri agar dapat menjadi generasi berprestasi dan diandalkan untuk bangsa dan negara di masa depan, seringkali dalam praktiknya malah berseberangan dengan amanat tersebut. Lihat saja ketika ketika mereka mengatasnamakan penderitaan dan menegakkan keadilan kerjaannya hanya up to date smartphone teranyar dan fashion yang paling ngetren. Bahkan, ketika ada rakyat berjuang melawan penindasan, mahasiswa hanya asyik nongkrong.
Lebih mengerikan lagi, membicarakan persoalan yang dihadapi negeri saja enggan. Katanya hanya menambahi beban pikiran di tengah tumpukan tugas dari kampus. Tugas pelajar adalah belajar dengan baik dan benar. Indikatornya mendapatkan indeks prestasi komulatif (IPK) diatas 3.5 (cumloude). Mereka tidak tahu, bahwa kampus yang sesungguhnya adalah dunia nyata, bukan tembok yang di dalamnya terdapat tempat duduk siswa dan dosen!
Jelas, kondisi diatas mengarahkan kepada kita semua bahwa semangat kebangsaan di kalangan mahasiswa masih kurang siginifikan, jika tidak ingin dikatakan tidak ada.
Setidaknya terdapat beberapa cara untuk memupuk semangat kebangsaan di kalangan mahasiswa. Pertama, melalui forum diskusi. Diskusi ilmiah, seminar nasional, yang mengangkat tema terkait kebangsaan dapat menjadi langkah awal tumbuhnya rasa nasionalisme. Rasa nasionalisme yang sudah terbangun akan memacu mahasiswa untuk tidak sekedar berfikir jangka pendek: setelah lulus mencari kerja. Justru yang demikian itu akan menambah deretan panjang pengangguran dan itu bukanlah sejalan dengan semangat kebangsaan. Harusnya, setelah menciptakan kerja agar peluang atau kesempatan kerja semakin luas. Inilah semangat kebangsaan sesungguhnya, ikut menjadi bagian dalam pengentasan kemiskinan.
Kedua, publikasi. Setelah diskusi dan mendapatkan solusi terbaik atas persoalan yang sedang didiskusikan, tanggung jawab mahasiswa selanjutnya adalah publikasi agar gagasan tidak hanya diketahui atau konsumsi sekolompok orang saja, melainkan juga harus masyarakat secara luas. Yang ingin penulis katakan adalah, sebagai intelektual sejati, memiliki karya tulis yang dipublikasikan adalah sebuah keniscayaan. Di era sekarang ini, banyak wadah (media, baik cetak maupun online) yang dapat menunjangnya.
Ketiga, bergelut di dunia nyata. Tanpa bermaksud menggurui, saat ini banyak mahasiswa yang enggan terjun di masyarakat. Kebanyakan dari mereka lebih sibuk dengan urusan kampus seperti fokus kuliah dan belajar, nongkrong, dan sejenisnya. Padahal, mahasiswa sebenarnya diberi keistimewaan, yaitu waktu cukup luang untuk beraktivitas di luar kampus. Artinya, sistem perkuliahan didesain sedemikian rupa oleh lembaga pendidikan yang berwenang agar mahasiswa tidak dikurung melulu di kampus. Akan tetapi, justru yang banyak terjadi adalah, sebagaimana dikatakan Michael Foucolt, bahwa kampus adalah penjara, yang memisahkan mahasiswa dengan masyarakat. Akibatnya, banyak persoalan sosial yang luput dari pengawalan kaum berpendidikan ini.
Mengingat kondisi demikian, maka idealnya mahasiswa tidak melulu fokus kuliah kemudian pulang di kost dan belajar. Terjun di tengah-tengah masyarakat adalah lebih baik dan sangat bermanfaat dan ini sesuai dengan semangat kebangsaan. Mungkin cara inilah yang dapat memupuk jiwa nasionalisme mahasiswa atau pemuda saat ini. Semoga! [*]
Oleh: Muhammad Najib
Magister FU UIN Syarif Hidayatullah Jakarta