SUMENEP, koranmadura.com – Upaya pemerintah untuk menggalakan tanaman tebu di Kabupaten Sumenep, terkesan mubazdir. Buktinya, meskipun sejumlah petani diberi bantuan, namun budi daya tanaman yang diproyeksikan untuk industri gula itu tidak berjalan optimal.
Informasinya, tahun 2014 sejumlah petani tebu di Sumenep mendapatkan bantuan sebesar Rp 50 juta per hectare (ha). Saat itu jumlah area perkebunan tebu mencapai 217 ha yang tersebar di lima kecamatan.
Lima kecamatan yang dijadikan sebagai lahan percobaan itu di antaranya Kecamatan Guluk-Guluk seluas areal 31 ha, Kecamatan Pragaan seluas 31 ha, Kecamatan Pasongsongan seluas 14 ha, Kecamatan Saronggi seluas 134 ha, dan Kecamatan Batuan seluas 7 ha. Saat ini area perkebunan tebu hanya tersisa 2-3 hektare lantaran masyarakat saat itu merugi dan tidak melanjutkan kembali.
“Sebagian petani saat itu ada yang mengaku rugi hingga Rp7 juta per hektarenya,” kata Anggota Komisi II DPRD Sumenep, Juhari, Rabu (12 Oktober 2016).
Baca: Area Perkebunan Tebu Terus Menyusut
Ia menduga salah satu faktor meruginya petani tebu saat itu dipengaruhi pola tanam dan struktur tanah yang kurang memadai. Sehingga perkembangan tanaman tebu menjadi lamban, tidak seperti di daerah lain, seperti di jawa.
Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Sumenep, Joko Suwarno, mengatakan ruginya sejumlah petani tetsebut disebabkan banyaknya petani yang belum faham cara membudi daya tanaman tebu. Di Madura, tebu masih tergolongan baru. Selain itu, di Madura belum ada pabrik gula. Sehingga hasil panen petani harus dikirim ke daerah luar madura, seperti ke Sidoarjo.
“Tahun 2015 Sumenep tidak kebagian ploting area untuk tanaman tebu. Makanya tidak berlanjut,” jelasnya.
Menurut Joko, untuk mengantisipasi terjadinya kerugian seperti dua tahun lalu, pihaknya akan mencoba untuk memproduksi tebu menjadi gula merah.
”Berdasarkan hasil uji coba yang kami lakukan, kalau dijadikan gula merah bisa menghasilkan lebih Rp 10 juta per herktarenya,” jelasnya. (JUNAIDI/RAH)
