Alkisah, suatu hari beberapa sahabat mempersoalkan kearaban sahabat lain. Sahabat yang dipersoalkan kearabannya tersebut adalah Salman Al Farisi yang Persia, Suhaib Al Rumi yang Romawi dan Bilal Bin Rabbah yang Afrika. Lalu, apa jawab Nabi? Nabi bersabda “Kearaban yang melekat dalam diri kalian bukan disebabkan ayah dan bukan pula ibu, tapi karena bahasa sehingga siapapun yang berbahasa Arab, maka dia adalah orang Arab”.
Jawaban nabi menunjukkan kebijaksanaan Islam yang luar biasa. Seseorang disebut Arab hanya karena berbahasa Arab. Disadari atau tidak, jawaban nabi inilah yang menjadikan 22 negara berbahasa Arab menjadi anggota Liga Arab. Dulu, tak ada orang bisa berbahasa Arab di Mesir. Silahkan anda buka kitab-kitab tafsir. Salah satunya tafsir Al Munir Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Pada Surat Yusuf dijelaskan bagaimana Nabi Yusuf ketika dipanggil raja Mesir, kemudian Nabi Yusuf mengucapkan salam dengan menggunakan Bahasa Arab dan berdoa untuk raja dengan bahasa Ibrani. Raja Mesir yang menguasai tujuh puluh bahasa ternyata tak mengerti kedua bahasa tersebut. Ini bukti bahwa Mesir tak berbahasa Arab di masa itu.
Kini, negara-negara anggota Liga Arab sepenuhnya disebut Arab. Tak perduli penghuninya beragam sejak Koptik sampai Berber. Maka hari ini kita akan melihat heterogenitas kearaban yang mengikat bangsa Negro di Sudan, Somalia dan Jibouti. Bangsa Berber di Tunisia, Aljazair dan Maroko. Bangsa Kurdi, Armenia dan Persia di Irak, juga campuran ras Eropa dan Semit di Asia kecil.
Timur Tengah Arab adalah campuran berbagai etnis. Arab, Persia, Berber, Negro, Armenia, Azeri, Kurdi, bahkan ras keturunan Eropa di Lebanon. Semuanya bisa disebut bangsa Arab hanya karena berbahasa Arab dan tinggal di wilayah Arab. Inilah nasionalisme ala Nabi Muhammad. Maka, jangan heran kalau ada istilah Kristen Arab untuk Kristen Maronite dan Ortodoks di Lebanon dan Syria. Mereka semua disebut Arab meski bukan penganut agama Islam.
Asal tahu saja, tradisi khas Arab sudah ada sejak zaman Ibrahim. Penjelasannya ada dalam Quran. Dengan gamblang Quran menyebut bahwa Sarah, istri Nabi Ibrahim yang menurunkan bangsa Israil melakukan tradisi tepuk muka begitu mendengar dia akan memiliki putra, yaitu Ishak kemudian disusul Yakub sebagai cucu. Quran berkata “kemudian istrinya (Sarah) datang dengan memekik lalu menepuk mukanya sendiri (Fashakkat wajhaha) seraya berkata, aku adalah seorang perempuan tua yang mandul” (Surat Adz Dzaariyaat:29). Tradisi tepuk muka (Shakka) yang dilakukan Sarah yang merupakan leluhur bangsa Israel, juga dilakukan bangsa Arab Jahiliyah.
Nasionalisme bahasa Arab menyatukan citarasa generasi Nabi Nuh. Nabi bukan saja mengikat mereka yang bersendikan semitisme dalam ras orang-orang Timur Tengah. Nabi bahkan mengikat Yafatisme dan Hamisme yang melekat di Afrika dan Eropa. Nabi Nuh yang memiliki tiga putra, Sam, Ham dan Yafit yang kemudian menurunkan bangsa-bangsa besar di tiga benua diikat oleh warna kearaban. Uniknya, kearaban yang dibentuk Rasulullah bukan saja mengacu kepada Arab Aribah (pure Arabs), tapi juga kearaban Musta’ribah (Arabized Arabs). Bahasa Arab pertama kali gunakan oleh etnis Qathan Arab Aribah, meski jauh sebelum itu ada bangsa Ad yang juga terkategorikan Arab. Tapi ketika Rasulullah membangun kearaban yang dinamis, beliau menggunakan konsep Arab Musta’ribah. Arabisasi namun berdasar spirit ajaran Islam yang universal sehingga tak mencipta Chauvinisme.
Nabi tak berangkat dari perspektif kosong. Zaman kuno, pengaruh Arab bukan saja memancar di Timur Tengah tapi meluas sampai Afrika. Somalia dan Jibouti, dua negara Arab-Afrika adalah jejak kolonialisme kerajaan Saba’ era Karibail Watar, pasca Bilqis. Di Etiopiapun, orang-orang Arab kerajaan Saba’ membangun etnisitas. Zanzibar di Tanzania adalah juga bukti pengaruh Arab kuno kerajaan Saba’. Pengaruh Arab kuat sejak sebelum Rasul di Afrika Timur. Rasul hanya mempertautkan kembali kearaban itu dengan nilai humanisme Islam.
Spirit mempersatukan bangsa atas dasar bahasa seharusnya menjadi inspirasi kita hari ini. Kita telah bersepakat menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Maka, orang Tionghoa, Arab, India Koja, Pakistan, Melayu adalah bangsa Indonesia. Penganut Kristen, Konghucu, Budha, Hindu dan Muslim adalah juga bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia telah mempersatukan kita tanpa kecuali. Nasionalisme bahasa Nabi merupakan inspirasi penting demokrasi kita hari ini. Membuka dialog adalah jalan lebar menuju bangsa beradab. Lihatlah di dalam Quran, bagaimana Bilqis yang hadir dalam kekuasaan monarki absolut masih membuka dialog dengan para menteri-menterinya. Bahkan Bilqis dalam An Naml ayat 29 berkata sopan dengan menyebut surat Nabi Sulaiman sebagai surat yang mulia (Kitabun Karim).
Sebagai penutup, ada baiknya doa Nabi Muhammad yang mulia ini kita renungkan. Suatu waktu nabi berdoa sebagaimana dicantumkan dalam hadits Bukhari. “Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah sebagaimana cinta kami kepada Mekkah, atau melebihi cinta kami pada Mekkah”. Hadits ini hendaknya menjadi inspirasi, ukuran loyalitas seseorang pada tanah airnya sejauhmana cintanya dipersembahkan pada tanah airnya tersebut. Cinta tanah air harus menjadi klarifikasi bagi setiap penghuni Indonesia. Spirit cinta tanah airnya yang harus menjadi pembeda apakah dia seorang Indonesia sejati atau bukan. Ras, agama dan suku tak boleh menjadi standar Nasionalisme. Doa nabi diatas juga sejenis isyarat agar kita mau menjadi masyarakat nasionalis yang betul-betul cinta tanah air.
Penulis adalah Alumni Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember dan santri kalong sejumlah pesantren.
Alamat: Jalan Ra’as nomor 4 Sumenep.
