Oleh: Miqdad Husein*
Sejak bulan November lalu di berbagai media, termasuk media sosial beredar deretan angka-angka terkait momen tertentu. Awalnya yang populer 411, lalu 212, 412 dan paling belakangan 1212. Semua sebenarnya tak lebih dari penegasan waktu. Angka 11 dan 12 terkait bulan November dan Desember, sedang angka di awal penegasan tanggal momentum.
Di luar sebagai penegasan waktu –bisa juga mempermudah diingat masyarakat, ada nuansa kebiasaan masyarakat negeri ini menafsirkan angka itu dikaitkan hal-hal bersifat spiritual dan aroma mistis. Biasanya disambungkan dengan kitab suci; alquran untuk masyarakat Muslim; dengan injil untuk kalangan Kristiani. Ummat Hindu dan Budha terlihat lebih intens membaca angka-angka dalam keseharian hidup mereka. Kapan misalnya sebuah kegiatan seperti pernikahan akan dilaksanakan. Semacam menghitung tanggal dan bulan baik.
Ummat Islam melakukan hal yang sama walau tak sampai detail pada perhitungan angka-angka; formatnya lebih longgar. Misalnya, menyelenggarakan pernikahan pada bulan Rabiul Awwal atau pada bulan Syawal atau Dzulhijjah. Selalu dihindari bulan Dzulqaidah yang biasa disebut bulan hapit alias kejepit.
Persepsi dan pemikiran bulan baik dan tak baik sudah jelas lebih merupakan kepercayaan, keyakinan. Karena itu jangan mencoba mendobrak membawa “senjata” rasional. Tidak akan pernah menemukan titik temu. Bahkan ketika dipaparkan misalnya, bukti empirik bahwa karena kepercayaan menganggap bulan Rabiul Awwal sebagai bulan baik untuk menyelenggarakan pernikahan menyebabkan banyak hajatan bentrok tak akan pernah dipedulikan. Padahal sudah jelas ketika hajatan pernikahan waktunya bentrok akan banyak undangan yang terpaksa tak hadir pada satu atau dua hajatan yang bersamaan itu.
Kebiasaan kepercayaan di kalangan ummat Islam seperti memilih waktu pernikahan banyak disebut terpengaruh agama Hindu atau budaya Jawa. Konon semua itu dampak hasil dari semacam akulturasi budaya yang dilakukan oleh Wali Songo ketika menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Untuk era kontemporer sebagaimana disebut di awal tulisan ini, kebiasaan ummat Islam menafsirkan angka tanggal dan bulan sebuah moment dikaitkan dengan ayat-ayat al quran didominasi sekedar pembenaran. Kadang memang pas sesuai makna ayat dan surat al quran; lebih sering lagi terasa dipaksakan. Maklum, namanya mengkaitkan sesuatu yang sebenarnya tidak berhubungan, nuansa “dipaksa” agar sesuai lebih terasa. Tidak pas, dipas-paskan; kurang pas kadang dipaskan.
Diakui atau tidak menyelinap pemaksaan irrasionalitas sekaligus manipulasi pemanfaatan Alquran sebagai pembenar. Seakan angka-angka kejadian memiliki pijakan kuat al quran. Tindakan terkesan Islami ini sesungguhnya mereduksi al quran menjadi sekedar angka-angka belaka seperti kitab kode atau primbon. Ironis sekali.
Satu kata menyebut fenomena baru itu sebagai tindakan: reaktif! Bukan menggali nilai-nilai al quran tapi mencocok-cocokan peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat dengan ayat-ayat al Quran. Lebih parah lagi ketika al quran kemudian hanya menjadi pembenar, legitimasi perilaku dan moment sekedar agar mendapat dukungan luas dari masyarakat.
Dalam lingkup perkembangan ilmu pengetahuan mudah sekali persepsi salah kaprah ini menjadi areal pengembangan hoax. Tujuannya secara sosial sebagai upaya pembodohan terutama bagi ummat Islam yang kurang percaya diri pada keyakinannya.
Banyak sekali belakangan hoax terkesan ilmiah dan islami karena disandarkan pada Al quran; ya sejenis dikaitkan dengan angka-angka. Seakan al quran sebagai rumus-rumus ilmiah atau buku sains apalagi diplesetkan seperti kitab primbon. Sering akhirnya seperti mengada-ada.
Bahwa Al quran menjadi inspirasi pengetahuan memang benar adanya. Bahwa Al quran memotivasi pengembangan ilmu pengetahuan memang tak terbantahkan. Bahwa ada dorongan dasyat semangat keilmuan sudah terbukti. Karena itu perlu dihindari quran direduksi dan dipersempit sekedar pembenar angka-angka apalagi pemanis hoax yang dikemas seakan ilmu pengetahuan.
Mengedepankan akal sehat, mendorong semangat berpikir, menumbuhkan dan menyegarkan keyakinan jauh lebih diperlukan di era sekarang ini dibanding sekedar membangkitkan semangat, emosi bertitik tolak sekedar pembenaran. Karena hanya cara itulah yang lebih berpeluang menyelesaikan persoalan kehidupan manusia.
*Miqdad Husein Kolumnis asal Madura, tinggal di Jakarta.
