“Jangan saling menghujat karena kita ini bersaudara; jangan saling menjelekkan karena kita ini bersaudara; jangan saling menfitnah karena kita ini bersaudara,” kata Presiden Jokowi di Istana Merdeka, usai bertemu dengan tokoh lintas agama (16/5/2017).
Pernyataan Presiden Jokowi itu disampaikan terkait masih maraknya perang kata-kata kasar di jagad dunia maya. Melalui media sosial seperti twitter, facebook dan lainnya diakui masih terjadi sikap saling hujat, saling maki, saling menfitnah, mengadu domba antar berbagai kelompok masyarakat. Semua tampaknya masih terkait dengan pelaksanaan Pilkada Jakarta.
Selesainya Pilkada Jakarta, termasuk pula vonnis pada Basuki Tjahaja Purnama ternyata masih menyisakan ketakpuasan. Berbagai ekspresi kemarahan masih mudah ditemui terutama di dunia maya antar para pendukung kandidat. Padahal secara operasional pelaksanaan Pilkada Jakarta putaran kedua tergolong berjalan sangat lancar, aman, tertib dan damai.
Ini memang terasa aneh dan ironis. Jakarta yang seharusnya menjadi barometer demokrasi ternyata justru paling menyisakan persoalan pasca Pilkada. Bandingkan misalnya dengan daerah lainnya yang praktis sama sekali tak meninggalkan persoalan berarti. Padahal masyarakat Jakarta, selama ini dianggap memiliki kematangan dan kedewasaan politik relatif lebih baik dibanding daerah lainnya. Namun fakta baru ternyata memperlihatkan kematangan berpolitik justru berkembang baik di berbagai daerah. Terbukti sekitar 100 daerah lain yang menyelenggarakan Pilkada praktis tak terdengar keributan antar para pendukung. Bahkan beberapa gugatan ke Mahkamah Konstitusi berjalan tanpa riak-riak berarti.
Ini menimbulkan tanda tanya besar ada apa Pilkada Jakarta sampai hari ini masih menyisakan kekisruhan sintaksis, perang kata-kata. Benarkah atmosfir panas ini sepenuhnya karena Pilkada Jakarta? Atau adakah faktor lain yang sebenarnya menjadi pemicu dan hanya berlindung di balik Pilkada Jakarta? Tak mudah menjawabnya. Perlu kecermatan ekstra memahami fenomena tergolong mengherankan ini.
Secara faktual tidak ada variabel luar biasa yang dapat dijadikan alasan misalnya, jika berbagai atmosfir panas mengarah pada pemerintahan Presiden Jokowi. Stabilitas sosial politik sangat baik, perkembangan ekonomi Indonesia bahkan tergolong relatif baik dibanding negara lain yang cukup terpengaruh dengan gejolak ekonomi dunia akibat menurunnya harga minyak. Juga tak ada kebijakan pemerintah yang katakanlah secara ekstrim menimbulkan reaksi frontal dari masyarakat.
Karena itu sebagai antisipasi langkah Presiden Jokowi yang mengundang tokoh lintas agama patut diapresiasi sebagai respon arif untuk mengurangi ketegangan dunia maya. Kehadiran para tokoh agama yang secara riil memiliki hubungan intens dengan ummatnya diharapkan bisa memberikan pencerahan, menurunkan tensi ketegangan sehingga berbagai kata sarkastis diharapkan berkurang dan tidak menyebar dalam dunia nyata.
Kita masih menyakini bila para tokoh lintas agama dapat duduk bersama ummat pun akan mengikutinya. Apalagi praktis hubungan antar ummat beragama di negeri ini berjalan sangat harmonis termasuk pula hubungan antar intern ummat beragama. Ini meyakinkan kita semua bahwa betapapun suasana terasa panas, apalagi sebatas di dunia maya, seluruh rakyat yang berpikir jernih tak ingin negeri ini terkoyak konflik kepentingan politik.
Sebagaimana ditegaskan Presiden Jokowi, semangat persaudaraan di negeri sebenarnya sangat mengagumkan. Merata pada hampir seluruh negeri ini. Terbukti hanya di Pilkada Jakarta ada riak -riak politik panas sementara praktis di daerah lain relatif berjalan wajar. Ini lagi-lagi mempertegas bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia tetap ingin kehidupan damai di negeri ini.
Damailah negeriku, sejahteralah rakyat menuju terwujudnya Indonesia hebat.