Kondisi obyektif pemerintah daerah saat ini sebenarnya sudah sampai taraf “mengkhawatirkan” baik terkait kinerjanya maupun problem yang membelenggu pimpinan daerah. Sejak negeri ini memasuki era reformasi berdasarkan catatan Kementrian Dalam Negeri, sudah sekitar 400 kepala daerah terseret persoalan hukum. Ini artinya, lebih dari 70 persen dari 540 kepala daerah di negeri ini terjerat masalah hukum. Yang terakhir terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK adalah Bupati Subang Iman Aryumningsih.
Masih berdasarkan data Kemendagri hanya ada 22 pasangan kepala daerah petahana yang maju kembali pada periode kepemimpinan kedua, sedang lainnya bahkan pada sekitar enam bulan pertama saja sudah bermasalah; kurang harmonis. Ini makin mempertegas kompleksitas persoalan pemerintahan daerah.
Terkait kinerja pemerintah daerah dalam persoalan anggaran barangkali menarik dicermati ketika Presiden Jokowi sempat “mencak-mencak” karena sampai bulan Juni saja pada tahun 2016 lalu, ada lebih dari 200 trilyun uang APBD masih mendekam di bank-bank. Sudah menjadi rahasia umum menyimpan uang di bank merupakan kebiasaan pemerintah daerah. Padahal tanpa menyimpan uang di bankpun anatomi APBD jauh dari ideal karena lebih banyak digunakan untuk gaji pegawai.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam pasal-pasal tentang sanksi kepada Kepala/Wakil Kepala Daerah cukup menegaskan betapa sangat seriusnya persoalan pemerintah daerah di negeri ini. Bahkan di UU Pemda itu ada pasal sanksi sangat “kekanak-kanakan” yang menegaskan tentang kelakukan dari kepala/wakil kepala daerah.
Keterjeratan hukum kepala daerah, problem menejerial, kinerja buruk, miskin kreativitas merupakan produk riil dari pelaksanaan Pilkada. Ini tak hanya terkait proses pencalonan kepala daerah yang disinyalir highcost tetapi juga budaya dalam memilih dari masyarakat daerah.
Terkait mahalnya biaya yang harus dikeluarkan calon kepala dan wakil kepala daerah sebenarnya sudah dicoba dicari jalan keluarnya sebagaimana tertera dalam pasal-pasal UU Pilkada Nomor 10 tahun 2016. Praktek larangan “membayar mahar” kepada partai pengusung diatur sangat jelas dan tegas. Sanksi-sanksipun sangat berat bila calon kepala daerah/wakil kepala daerah terbukti berdasarkan keputusan tetap pengadilan bermain uang dikenakan pembatalan kemenangan dan partai politik tidak boleh mengusung calon kepala/wakil kepala daerah pada periode berikutnya.
Termasuk di UU Pilkada diatur mekanisme sosialisasi yang tak lagi perlu dilakukan calon kepala/wakil kepala daerah sehingga biaya kampanye menjadi lebih murah. KPUD lah, dengan memanfaatkan dana APBD yang menfasilitasi seluruh proses pelaksanaan Pilkada sehingga para kandidat tidak terbebani biaya Pilkada.
Namun pasal-pasal yang sebenarnya berusaha agar kepala/wakil kepala daerah tidak terjerat biaya besar itu sehingga tidak tergoda menyalahgunaan kekuasaan jika terpilih agaknya sebatas terlihat indah. Dalam prakteknya sulit mendeteksi berbagai dugaan praktek permainan mahar antara calon kepala/wakil kepala daerah dengan partai politik pengusung.
Biaya tinggi politik yang tak tercium itu tampaknya baru kelihatan ketika kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih terseret persoalan hukum. Untuk mengembalikan biaya tinggi terpaksa kepala/wakil kepala daerah berupaya melalui jalan haram yang resikonya berhadapan dengan aparat hukum.
Budaya politik uang dalam pelaksanaan Pilkada secara kasat mata mudah terasakan sekalipun Panwaslu dan Mahkamah Konstitusi selalu kesulitan membuktikan kenyataan massif, terstruktur dan sistematisnya. Ini menggambarkan dua penyakit sosial yaitu nafsu berkuasa para kandidat sehingga menghalalkan segala cara untuk menang dan keikutsertaan masyarakat secara sadar memilih atas dasar pertimbangan uang. Dua hal buruk bersinergi menghasilkan pimpinan daerah yang sudah tentu sangat sulit diharapan dapat menjalankan amanah dengan baik.
Tergambar jelas dari awal keterpilihan kepala/wakil kepala daerah sudah potensial menyimpan masalah. Seluruh proses dari sejak awal Pilkada secara faktual penuh borok-borok sosial yang diduga dilakukan para kandidat yang mendapat pembenaran dari logika pendek masyarakat. Dengan proses penuh warna buram ini sangat sulit berharap kepemimpinan daerah terpilih mendekati ideal yang diharapkan membawa perubahan ke arah perbaikan daerah.
Kompleksitas problem pemerintah daerah di seluruh Indonesia sampai saat ini yang lebih memiriskan belum pernah menjadi perhatian dan pemberitaan luas apalagi sampai viral hingga mengundang semua lapisan masyarakat untuk ikut serta aktif mencari solusi. Dalam tataran pembahasan perundang-undangan terkait pemerintah daerah di DPR pun belum mampu menarik keseriusan perhatian masyarakat luas. Kosakata daerah agaknya masih bermuatan kurang seksi sehingga persoalan terkait pemerintah daerah belum mampu mengundang perhatian serius masyarakat.
Jika berpikir sederhana saja dengan asumsi bahwa sebagian besar masyarakat berada di daerah seharusnya persoalan pemerintah daerah menjadi fokus perhatian seluruh masyarakat negeri ini. Jika pemerintah daerah bermasalah berarti struktur penopang kinerja pemerintah sangat lemah. Sebaliknya jika pemerintah daerah berjalan efektif menghasilkan output pembangunan optimal secara nasional akan sangat terasa dampaknya. Kapankah kesadaran penyelesaian soal daerah ini tumbuh?