Pada Jumat pertama di bulan Ramadhan tahun ini, seorang khotib di sebuah masjid memulai khotbah dengan materi tidak lazim disertai retorika menghentak. “Apakah para jamaah yang hadir di masjid ini berpuasa media sosial?” tanyanya, hingga membuat sebagian jamaah terperangah.
“Saya yakin dalam urusan puasa umumnya, ummat Islam telah menjalankan dengan baik. Tidak akan terasa berat,” katanya lagi. Hampir bisa dipastikan, lanjutnya, kalau ummat Islam sehat, akan mampu berpuasa menahan lapar dan haus. Termasuk pula menahan diri tidak berhubungan suami istri.
Jadi, katanya lagi, untuk urusan melaksanakan puasa yang paling sederhana, seperti kata Al Gazali, sekedar menahan lapar dan haus, ummat Islam yang sehat pasti mampu. “Saya tidak ragu itu. Asal sungguh-sungguh berniat puasa, insya Allah kuat sampai magrib,” katanya penuh keyakinan.
Masalahnya, puasa itu bukan sekedar menahan lapar dan haus. Puasa itu menyangkut kemampuan mengendalikan diri dalam berbagai aspek kehidupan. “Di sini saya mulai merasa khawatir dan agak meragukan serta mempertanyakan kemampuan ummat Islam dalam menjalankan ibadah puasa. Bisa atau tidak, berpuasa dalam arti sesungguhnya dalam seluruh aspek kehidupan,” katanya, dengan nada lebih ditekankan sehingga ada sebagian jamaah Jum’at mengangguk-anggukan kepala.
“Tak usah jauh-jauh. Soal yang barangkali menjadi bagian dari keseharian kehidupan kita di era now yaitu dalam menggunakan alat komunikasi. Apakah kita bisa ‘berpuasa’ dalam bermedia sosial? Mampu mengendalikan diri sehingga tidak lagi terseret nafsu menyebarkan berbagai hal yang kadang tak diketahui, memposting berita hoax atau bahkan yang paling serius menyebar informasi bermuatan fitnah. Bisakah kita mengendalikan diri tidak menjadi bagian dari ujaran kebencian?” tanya khotib dengan nada tegas sehingga jamaah yang sebelumnya hampir tertidur, tersentak.
Para jamaah Jumat seperti tersentuh. Maklum saja, alat komunikasi seakan bagian yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan keseharian. Ponsel selalu melekat ke manapun pergi. Tiada hari tanpa ponsel. Seakan manusia tak bisa hidup tanpa ponsel.
“Kelihatan sederhana sekali, bukan?” kata khotib. Tetapi, yang terkesan sederhana ini ternyata secara faktual sangat sulit diatasi dan dikendalikan. Sangat sulit manusia di era sekarang ini khususnya ummat Islam di negeri ini mampu “berpuasa” atau mengendalikan diri dalam menggunakan alat komunikasi. Sepak terjang dalam berkomunikasi seperti tidak terkontrol. Bahkan ada kesan cenderung kurang peduli atau menganggap santai saja dalam berkomunikasi, bermedia sosial; termasuk kurang mempertimbangkan dampak dan akibatnya dari setiap informasi yang kita sebarkan.
Sudah lama, papar khotib, berbagai ahli khawatir dengan cara kita bermedia sosial, cara kita menggunakan alat komunikasi. Ujaran kebencian, plintiran informasi, fitnah mudah menyebar di media sosial, termasuk dalam lingkungan lebih sempit seperti di group-group whatsApp. “Sebagian besar kita seperti bukan mengendalikan media sosial tetapi justru sebaliknya mudah diarahkan media sosial yang bermuatan kepentingan,” tegas khotib.
Yang merebak sekarang ini sekedar menjadi bagian dari media sosial tetapi kurang menyadari bagaimana bermedia sosial yang baik. Kurang memahami bagaimana seharusnya menyikapi banjir informasi di media sosial. “Informasi yang kita terima tidak diteliti kebenarannya. Lebih parah lagi kadang langsung disebarkan kembali tanpa melakukan tabayyun, klarifikasi, verifikasi. Alih-alih mengkaji manfaat penyebaran, untuk meneliti kebenaran informasipun sering tidak dilakukan,” tegas si khotib, lagi.
Hanya karena pada konten informasi diselipkan ayat-ayat suci Alquran kadang kita begitu bersemangat menyebarkannya. Hanya karena ada nama orang yang kita kagumi pada informasi itu langsung kita sebarkan. “Padahal belum tentu benar informasi itu, sekalipun diselipi ayat Alquran. Juga belum tentu nama tokoh itulah yang menjadi sumber informasi. Bisa jadi pencantuman nama tokoh untuk memanipulasi agar orang-orang percaya.”
Pernahkah dipikirkan dampak dasyat jika yang disebarkan melalui alat komunikasi kita ternyata fitnah, memutarbalikkan fakta tentang seseorang. Bukan hanya kita berdosa besar karena menyebarkan fitnah; orang yang menjadi korban penyebaran informasi fitnah itu akan menderita, mengalami kesulitan dan berbagai persoalan lainnya.
Di sinilah penting, di bulan Ramadhan tahun ini, ummat Islam Indonesia perlu puasa media sosial; perlu melatih mengendalikan diri dalam bermedia sosial dan berkomunikasi. Jangan sampai kita menjadi korban belantara keji media sosial dari orang-orang yang menyalahgunakan media sosial sehingga antar kita berseteru, terjebak konflik, bertengkar antar anak bangsa hingga kedamaian di negeri ini terganggu. Marilah berlatih “berpuasa media sosial” agar selamat dalam berkomunikasi dan menjadi bagian dari masyarakat yang mampu menguasai dan bukan menjadi korban era informasi dan komunikasi.