Oleh : Miqdad Husein
Usai sudah pelaksanaan kampanye terutama kampanye terbuka Pemilu 2019; sebuah tahapan pemilu paling krusial yang sempat menciptakan percik-percik ketegangan di tengah masyarakat. Satu ujian penting telah dilalui rakyat negeri ini dalam berdemokrasi.
Sulit mengingkari bahwa Pemilu 2019 memang menyita energi rakyat negeri ini. Sebagian besar rakyat terseret persaingan terutama dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Sementara pemilihan anggota legislatif relatif sepi dari gonjang ganjing. Barangkali tertangkapnya rencana praktek politik uang yang relatif sejenak mengundang perhatian masyarakat terhadap pemilu anggota legislatif.
Dibanding Pilpres 2014 pelaksanaan Pemilu 2019 terutama dalam pelaksanaan Pilpres ada pergesekan lebih tajam di antara para pendukung. Apalagi bila dibandingkan Pilpres 2009 yang praktis jauh dari hingar bingar berlebihan seperti Pilpres 2019.
Pada Pilpres tahun ini ada suasana terbelah pada para pendukung dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Secara riil suasana terbelah bahkan lebih mengarah seakan berhadap-hadapan. Retorika beberapa elit seperti menyebut perang Badar, perang Bratayuda, perang total juga perang idiologi makin memanaskan suasana hajatan lima tahunan itu.
Paling tidak dua hal yang menjadi titik api pemantik suasana ketegangan dalam pelaksanaan pemilu, yang seharusnya sudah menjadi hal rutin bagi negeri ini. Pertama, munculnya kembali persoalan idiologis; sesuatu yang seharusnya sudah selesai. Ada nuansa memunculkan kembali pemikiran yang berupaya mengutak-atik ideologi Pancasila yang dibenturkan dengan ideologi khilafah.
Persoalan ideologi komunis sempat pula mencuat walau ada batas dengan Pancasila sehingga sudah dipahami serta disadari bahkan telah menjadi sikap seluruh rakyat negeri ini. Artinya, mayoritas untuk tidak disebut – hampir seluruhnya masyarakat negeri ini telah menganggap komunis sebagai sesuatu yang praktis, didengar namanyapun akan ditolak keras.
Ideologi khilafah yang secara terbuka dihadapkan itu sebelumnya sempat berkembang melalui organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ini artinya eksistensi HTI sebelum dibubarkan pemerintah memang riil ada dan hidup di tengah masyarakat dalam kurun waktu relatif lama. Praktis selama ini HTI memang berkembang relatif luas dengan pengaburan baju idiologi khilafah.
Memasuki Pemilu terutama Pilpres –walau dibantah- ada keberpihakan atau lebih tepatnya dukungan HTI kepada salah satu pasangan menaburkan batas kepada pasangan lainnya. Sebenarnya dengan melihat anatomi dua pasangan capres dan cawapres terasa ganjil menyebut ada batas tajam seakan terjadi gesekan idiologi. Baik pasangan nomor urut 01 dan nomor 02 secara normatif merupakan putra-putra terbaik negeri ini, yang kometmen dan loyalitasnya kepada ideologi Pancasila tidak perlu diragukan.
Munculnya nuansa gesekan ideologi itu diperparah faktor kedua yaitu politik identitas dalam bentuk munculnya Ijma’ ulama I dan II sehingga mengesankan keterbelahan keterikatan keagamaan. Terbentuk pola seakan pasangan yang satu mewakili Islam dan lainnya mewakili ‘bukan Islam.’ Bumbu-bumbu isyu kriminalisasi ulama, fitnah memarginalkan ummat Islam sampai rencana pelarangan adzan makin memunculkan potensi keterbelakahan di tengah masyarakat.
Jadi pada salah satu pasangan karena didukung Ijma’ ulama dikaburkan didukung radikalis serta diidentikkan atau sekurangnya dikaitkan dengan khilafah antara lain adanya dukungan HTI sementara pihak lainnya diidentikkan bersikap kurang simpati kepada ummat Islam. Sebuah pola gesekan ideologi politik tajam dikesankan terjadi antara ideologi khilafah dengan Pancasila dari masing-masing pasangan walau realitasnya lebih merupakan permainan komunikasi politik yang sayangnya menyerempet potensi berbahaya bagi kedamaian negeri ini.
Belajar dari ketegangan selama pelaksanaan kampanye yang baru saja berlalu, masyarakat Indonesia terutama seluruh kekuatan politik dan pemerintah mendatang perlu seoptimal mungkin menutup ruang merebaknya politik identitas. Stigma ideologi yang berlawanan dengan Pancasila pada kekuatan politik serta pasangan Capres dan Cawapres tertentu perlu disadari sepenuhnya muncul karena pengentalan politik identitas yang dimanfaatkan oleh kekuatan pengusung ideologi khilafah yang telah dibubarkan di negeri ini.
Pengembangan kehidupan politik di negeri ini seharusnya berada di bawah payung ideologi Pancasila yang memberikan ruang leluasa penerapan nilai-nilai keagamaan serta keunggulan budaya Indonesia. Dalam bentuk aplikatif terbentang luas ruang berfastaqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan dalam bentuk visi misi serta program. Harus ada sikap tegas seluruh komponen bangsa melawan apapun yang bertentangan dengan Pancasila. Itulah pilihan terbaik jika demokrasi di negeri tidak ingin terjebak ketegangan berlebihan.