BANDUNG, koranmadura.com – Senyum Rohaeti (50), mengembang saat lampu yang berada di dalam rumahnya dinyalakan. Daya lampu itu bukan berasal dari arus listrik, tapi dari kotoran sapi yang telah diolah menjadi biogas.
Sejak sepekan terakhir, warga RW 2 Kampung Sukamulya, Desa Cibodas, Lembang, Kabupaten Bandung Barat itu tak menggunakan listrik sedikitpun untuk penerangan.
Menurutnya, sumber cahaya dari instalasi biogas yang ditanam di belakang rumahnya sudah lebih dari cukup. “Di rumah ini ada dua, dan di area kandang sapi ada tiga yang dipasang, semuanya dari biogas,” katanya.
Ia pun tak perlu repot-repot membeli tabung gas untuk keperluan memasak, pasalnya, biogas tersebut juga bisa digunakan sebagai pengganti gas LPG.
“Alhamdulillah sekarang mengurus kotoran sapi lebih mudah, tinggal didorong ke dalam bak penampungan,” ujarnya.
Instalasi biogas tersebut merupakan hibah dari Pemerintah Australia melalui Australia Grant Scheme yang dikerjakan oleh Prodi Teknik Kimia Unpar dan Lodge Foundation.
Instalasi biogas tersebut bisa menghasilkan 1000 liter biogas dari bak tampung 5000 liter perharinya. Teknologi ini terbukti ramah lingkungan, pasalnya residu dari kotoran ternak bisa diolah kembali menjadi pupuk atau makanan ikan.
Sebelumnya, warga membuang kotoran hewan dengan cara menguburnya atau dibuang ke sungai yang menghilir ke Sungai Cikapundung.
“Saya lihat pemetaan di Jabar apalagi dengan program Citarum Harum, bahwa limbah organik dan anorganik itu mencemari sejak dari hulu ke hilirnya, untuk kotoran sapi itu 180 ton perhari,” kata Jenny Novianti Muliarahayu Sutedjo, Head Project Biodigester saat ditemui di Kp Sukamulya.
Jenny yang juga Kapordi Teknik Kimia Unpar itu, mengatakan upaya mengurangi limbah dari hulu itulah yang membuatnya tertarik untuk memasang biodigester di wilayah Cibodas.
“Ke depannya kita akan pasang instalasi biodigester di beberapa titik, selain memberikan dampak positif bagi lingkungan, juga berdampak positif bagi masyarakatnya, bukan tidak mungkin jika nanti PJU bisa menggunakan lampu dari biogas ini,” katanya.
Instalasi biodigester ini, kata Jenny, menggunakan bahan dasar fiber sehingga lebih awet dibandingkan biodigester dari semen. “Pernah teruji coba saat gempa di Lombok, dan biodigester dari fiber ini lebih tahan guncangan,” ujarnya.
Founder The Lodge Foundation, Heni Nurhaeni Smith mengatakan biodigester ini merupakan win-win solution, sebab selain mengurangi pencemaran juga akan memberikan dampak ekonomis yang positif.
“Kalau sungai bersih, masyarakat bisa memanfaatkannya sebagai wahana wisata, kami juga turut mendukung langkah positif ini,” ujarnya. (DETIK.com/ROS)