MH. Said Abdullah
Selalu setiap perundang-undangan tidak akan dapat memuaskan semua pihak. Jadi, wajar saja bila sebuah undang-undang misalnya, ditolak sementara kalangan diterima mayoritas lain. Sangat manusiawi.
Jadi, tidak ada hal luar biasa ketika UU Cipta Kerja mendapat reaksi penolakan dari sebagian buruh. Demikian pula reaksi sama dari beberapa kalangan elite. Ini merupakan bagian proses berdemokrasi di negeri ini.
Yang perlu mendapat perhatian serius di tengah pro kontra UU Cipta Kerja beredarnya hoax dan fitnah yang tidak sejalan atau bahkan bertolak belakang serta sama sama sekali tak tercamtum dalam pasal-pasal undang-undang tersebut. Pernik-pernik buruk itu jelas sangat berbahaya.
Disadari sepenuhnya, sangat luar biasa merebak hoax dan fitnah di sekitar pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR. Baik sebelum dan setelah ketok palu berseliweran sangat sistematis, massif dan terstruktur. Ironisnya, banyak masyarakat terutama kalangan buruh, yang terprovokasi berbagai hoax menyesatkan. Jadilah berbagai peristiwa kurang mengenakan sempat terjadi seperti kerusuhan demo buruh di Bandung, serta membludaknya demo buruh di Sukabumi dan tempat lain, yang mengabaikan protokol Covid hingga mengancam keselamatan buruh, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Dari sini sangat jelas pengesahan UU Cipta Kerja memang dijadikan kuda troya untuk merusak kedamaian dan ketenangan negeri ini. Mereka, para petualang politik tega menyeret terutama para buruh ke lobang bahaya bernama pandemi Covid. Syahwat politik agaknya sudah sampai diubun-ubun sehingga mereka tega menyeret buruh ke tempat berbahaya yang dapat mengancam nyawa mereka: terinfeksi Covid-19.
Sebagian besar masyarakat negeri ini agaknya belum belajar dari penolakan keras dalam berbagai demo, yang ternyata jauh dari fakta riil. Mereka berdemo bukan setelah membaca dan memahami pasal-pasal UU Cipta Kerja. Aksi para buruh dan berbagai ‘kebencian’ yang tersebar di media sosial sepenuhnya karena menjadi korban penyebaran hoax.
Rendahnya literasi masyarakat menjadi seperti minyak menyiram api, makin mengaburkan persoalan. Rasionalitas jelas jauh dari berfungsi. Yang mengemuka emosi membabi buta tanpa memahami persoalan sebenarnya. Benar-benar sebuah ironi luar biasa.
Paling tidak ada 12 poin hoax dan fitnah yang tersebar di berbagai media sosial terkait UU Cipta Kerja. Ini belum termasuk hal sangat serius, yang memerlukan kajian dan pemahaman mendalam seperti soal HGU yang hanya disebut spektakuler yaitu 90 tahun, tanpa dipaparkan konteks persoalannya.
Pembelokan informasi dan penyebaran hoax paling massive memang terjadi pada klaster ketenagakerjaan yang disinyalir motifnya untuk memprovokasi kalangan buruh. Padahal semangat dari UU ini memberikan perlindungan secara komprehensif terhadap pekerja.
Buruh tidak akan dapat pesangon, merupakan hoax paling seksi, yang langsung menenggelamkan para buruh dalam suasana emosional luar biasa. Bisa dipahami jika memang benar karena menyangkut kebutuhan hidup. Namun, jelas sekali pernyataan buruh tidak akan mendapat pesangon adalah hal muskil dan mustahil. Amat sangat jauh dari rasional.
Terpapar jelas pada Bab IV pasal 156 bahwa buruh mendapatkan pesangon. Di pasal itu dirinci poin perpoin hak pesangon buruh, sesuai masa kerjanya. Sangat eksplisit dan dapat dibaca tanpa perlu mempelototkan mata.
Hoax berikutnya, di UU disebutkan upah buruh dihitung perjam. Padahal tak ada satupun pasal menyebutkan soal itu. Lalu, disebarkan bahwa pekerja yang meninggal, ahli warisnya tidak dapat pesangon. Lagi-lagi sangat jelas sebagai manipulasi pernyataan. Sebab, di pasal 61 ditegaskan bahwa ahli waris tetap dapat hak pesangon.
Yang agaknya ikut memicu kemarahan hoax yang menyebutkan bahwa libur Hari Raya hanya di tanggal merah dan istirahat sholat Jumat cukup 1 jam. Pernyataan memancing emosi itu sama sekali tidak tercamtum dalam UU Omnibus Law.
Lainnya, hoak yang menyebut semua Hak Cuti dihilangkan. Padahal UU Cipta Kerja tidak mengubah ketentuan cuti sebelumnya. Juga, tersebar hoax UMP, UMK, UMSP dihapus. Padahal upah minimun tetap ada ditetapkan Pemerintah Provinsi. Bahkan jika ada UM Kabupaten/Kota harus lebih tinggi dari Provinsi. Ini diatur Bab VI, pasal 88 C. Dan masih banyak lagi point hoax lain yang beredar hingga potensial memicu emosi buruh.
Sebagai produk hukum manusia, memang harus diakui mungkin saja ada kelemahan dan kekurangan. Di sinilah penting dikaji, dievaluasi dan kalau perlu dipersilahkan digugat ke Mahkamah Konstitusi. Demikianlah seharusnya proses demokrasi. Perbedaan didiskusikan dan bila ada pihak merasa dirugikan menggugat ke Mahkamah Konstitusi.
Jalan perbaikan juga terbuka, terbentang di depan mata. Termasuk nantinya atas masukan masyarakat, DPR dan pemerintah dapat merobah jika ternyata UU tidak dapat berjalan baik atau kurang efektif meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Semua dapat dilakukan dengan tenang. Tidak perlu terperangkap kegaduhan yang mungkin sengaja dipancing para petualang yang tak ingin negeri ini damai serta mencapai kejayaan.