Oleh : Miqdad Husein
Bahar Smith usai bebas karena kasus penganiyaan anak-anak mulai aktif berceramah. Sayangnya, bukan kesadaran dan pemahaman pada persoalan hukum yang terlihat pasca jadi narapidana. Ia justru makin kehilangan kontrol diri dalam berbagai ceramahnya.
Yang terakhir, dalam satu kesempatan ceramah memaki-maki. Sebuah perilaku potensial masuk ranah pidana. Menteri, Presiden, Ibu Megawati diteriakin bangsat dan berbagai kalimat kasar lainnya. Bahar menantang aparat agar dirinya ditangkap.
Terlihat sekali Bahar seperti mengalami masalah kejiwaan. Dia merasa perlu menunjukkan keberanian menghadapi kekuasaan di tengah para jamaah -entah layak disebut- pengajian.
Dia rupanya kehilangan kemampuan berpikir sehat hingga menyangka keberanian ‘nahi munkar’ mencegah kemungkaran dapat ditunjukkan dengan memaki-maki. Dia tak menyadari kelakuan memaki-maki, sumpah serapah merupakan kemungkaran yang beresiko pidana. Mana ada ajaran Islam mengajarkan memaki-maki, sumpah serapah, hina sana hina sini. Apalagi dalam acara yang disebut pengajian.
Alih-alih mencegah kemungkaran malah dia sendiri melakukan kemungkaran. Merasa memiliki keberanian hebat dengan memaki-maki dan sumpah serapah.
Di sini terlihat jelas, lagi-lagi masalah kejiwaan Bahar. Dia berpikir berani menghadapi kekuasaan dengan cara memaki dan sumpah serapah sebagai kehebatan. Sebuah pendekatan yang biasa dipakai para preman pasar. Bukan hasil olahan akal sehat yang disampaikan tapi emosi, amarah jauh dari kontrol.
Yang terjadi akhirnya tak lebih dari pembodohan. Para jamaah bukan diajak berpikir dan memahami apa yang perlu dilakukan melalui upaya mencegah kemungkaran. Jamaah pengajian dipaksa bertindak emosional, dieksploitasi amarahnya. Lagi-lagi ini khas kelakuan manusia jauh dari berkeadaban.
Kerancuan berpikir juga terlihat pada pemikiran tentang keberanian melawan dan mengkritisi pemerintah. Bahar rupanya menganggap maki-maki dan marah-marah tanpa dasar adalah keberanian yang hebat. Padahal secara riil justru memperlihatkan kelemahan mendasar.
Ketika mengedepankan amarah manusia makin jauh dari nilai kemanusiaannya. Makin kehilangan penggunaan akal sehingga menjauh dari predikat sebagai manusia.
Marah memang bagian dari unsur kejiwaan manusia. Namun marah bagi manusia yang sehat memiliki alasan dan pijakan kuat. Jelas apa yang menjadi sasaran kemarahan dan bukan sekedar memaki-maki.
Kepada pemerintah misalnya silahkan kritisi dan tunjukkan apa obyeknya. Apa persoalannya. Lebih baik lagi jika disarankan alternatif penyelesaian yang dianggap lebih baik.
Bahar Smith agaknya lebih ingin gagah-gagahan dan menganggap dirinya berani. Merasa hebat tidak takut memaki-maki aparat pemerintah.
Tentu saja, ini kelakuan menggelikan. Di era keterbukaan seperti sekarang ini, ketika kebebasan demikian luar biasa, berani mengkritisi pemerintah bukan hal luar biasa. Soal ecek-ecek. Siapapun bisa melakukannya.
Beda dengan di masa Orba ketika bicara lurus dan hanya berbeda saja dari kekuasaan nyawa bisa melayang. Tanpa proses hukum. Jadi, berani di era sekarang itu tak lebih dari ayam sayur.
Ini era digital. Akal jernih, pikiran brilian yang perlu dikedepankan. Kritik setajamnya silahkan. Bebas. Yang terlarang memfitnah, menyebar hoax dan penghinaan serta maki-maki. Sangat jelas rambu hukumnya.