Oleh : MH. Said Abdullah
Selintas, kalimat merawat kemerdekaan pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke 77 terasa berlebihan. Apa yang perlu dikhawatirkan pada negara yang sudah merdeka mendekati angka 80 tahun. Masih adakah kemungkinan terjadi penjajahan kembali. Apalagi di era modern seperti sekarang ini.
Dalam bentuk fisik, memang tidak akan terulang lagi penjajahan seperti masa sebelum kemerdekaan. Hampir mustahil negara lain secara fisik kembali mengulang kepahitan lama, seperti kondisi sebelum kemerdekaan. Namun, itu semua tidak berarti kondisi kemerdekaan dan kedamaian sekarang ini, tanpa gangguan berarti. Justru pada masa kemerdekaan, ketika negeri ini sedang berbenah dan membangun berbagai gangguan yang tidak bersifat fisik seperti di masa lalu makin harus diwaspadai.
Masyarakat Indonesia tentu masih ingat pernyataan Bung Karno, yang sangat populer. “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Peringatan Bung Karno bervisi masa depan itu baik secara normatif maupun faktual obyektif memiliki dasar rasional. Kalimat arif bahwa lebih mudah membangun dibanding merawat menjadi bukti dalam kehidupan keseharian. Demikian pula kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan pengorbanan darah dan air mata, tidak mudah mengisi, merawat dan menjaganya dari berbagai gangguan, yang seperti disebut Bung Karno, sangat mungkin dari segelintir bangsa Indonesia, yang berpikir picik, sempit, yang hanya mengedepankan syahwat kekuasaan.
Di era modern ini banyak bukti kongkrit tentang nafsu berkuasa dari sekelompok warga masyarakat sehingga menjerumuskan satu negara ke jurang konflik perang saudara. Irak, Suriah, Afghanistan, Lybia adalah contoh yang terpampang di depan mata yang sampai sekarang masih terperangkap perang saudara, sehingga kemerdekaan yang diperjuangkan susah payah tercabik-cabik kembali hingga menebarkan nestapa dan derita kepada rakyat.
Ketakdewasaan dalam berpolitik seperti belum siap menerima kekalahan dalam proses Pemilu misalnya, merupakan contoh riil potensi gangguan kedamaian negeri ini. Mereka, kadang mencari berbagai cara untuk menebar suasana ketegangan, yang dapat menggiring masyarakat terjebak konflik horizontal. Sebuah pengalaman pahit, pernah dialami negeri ini pasca Pemilu 2019 lalu, yang alhamdulillah dapat diatasi sehingga tidak mengganggu kedamaian negeri ini.
Keanekaragaman suku di negeri ini, yang sangat luar biasa karena terdapat sekitar 1340 suku disertai bahasa dan dialek berbeda, perlu terus dijaga agar senantiasa harmonis. Belum lagi keragaman agama, yang bila tidak dirawat dengan sungguh-sungguh dapat menjadi pemantik ketegangan. Kondisi geografis negeri ini, yang berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG) memiliki 16.771 pulau, makin menegaskan betapa merawat negeri ini ibarat orkestra besar yang memerlukan kemampuan diregen tangguh serta kesadaran seluruh pemusik untuk selalu menjaga harmoni nada agar kedamaian, ketentraman tetap terjaga.
Dari selintas pemaparan anatomi Indonesia terlihat jelas betapa penting untuk selalu saling mengingatkan merawat keanekaragaman yang sangat luar biasa. Bandingkan dengan Afghanistan yang hanya memiliki empat suku namun sampai sekarang masih melingkar-lingkar dalam perang saudara.
Banjirnya arus informasi, dan pesatnya kemajuan teknologi bagaikan pisau bermata ganda. Informasi dan teknologi bisa membantu kita menjalani lompatan kemajuan. Sayangnya informasi dan teknologi bisa menjadi alat perang proxy. Bisa menjadi kendaraan masuknya ideologi transnasional atas nama agama yang memproduksi radikalisme dan terorisme, maupun ideologi sekularistik yang memusuhi agama.
Kita punya keluhuran nilai- nilai yang terus kita rawat dan menopang kebudayaan Nusantara. Modalitas kebudayaan Nusantara ini menjadi kekuatan katarsis yang meluruhkan berbagai nilai baru yang berpotensi destruktif.
Mungkin hanya Korea Utara yang menutup diri dari jaring-jaring global. Kegiatan ekonomi telah menempatkan Indonesia dalam jejaring perdagangan dan keuangan global.
Dalam banyak hal kita dihadapkan pada ruang pertandingan yang tidak setara. Namun situasinya tidak memungkinkan kita balik badan, dan menutup diri dari pergaulan ekonomi global. Meskipun ruang pertandingan tidak seimbang, negara kita punya trisula siwa yang sangat mematikan secara ekonomi. Posisi geografis, kekayaan alam, dan rakyat yang nasionalistis tiga mata tombak kita. Tugas kita meletakkan ketiganya sebagai senjata kita dalam menjalankan politik pembangunan menuju daulat ekonomi.
Demokrasi kita salah satu contoh demokrasi di dunia yang masih terawat dengan baik. Walaupun prosesnya lebih singkat dibanding perjalanan demokrasi di Amerika Serikat, namun kita boleh berbangga, demokrasi kita sudah setara, bahkan melampaui mereka.
Sangat terlihat, rakyat Indonesia bisa memilih pemimpin nasionalnya secara langsung tanpa perlu diwakilkan. Padahal Amerika Serikat masih “diwakilkan” melalui electoral college.
Kemajuan ini patut kita syukuri. Namun kita tidak berhenti membenahi demokrasi. Biaya pemilu yang mahal dari demokrasi elektoral menjabak kita dalam lingkaran setan korupsi.
Kita butuh perbaikan budaya politik pemilu. Kontestasi menghalalkan cara wujud dari muslihat para penipu. Tak ada waktu untuk surut mundur. Membenahi sistem pemilu niscaya merawat demokrasi kita.
Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat.
77 Tahun Dirgahayu Republik Indonesia.