Oleh : MH. Said Abdullah
Selasa (25/10) kita digemparkan seorang perempuan berusaha menerobos Istana Negara lewat pintu masuk Jalan Medan Merdeka Utara dan menodong senjata pistol jenis FN ke anggota Paspampers di Jakarta Pusat. Saat ini sosok bernama Siti Elina sedang diperiksa Tim Penyidik Polda Metro Jaya.
Aparat kepolisian memang masih mendalami apa yang menjadi motif tindakan nekad Siti Elina, namun kejadian itu tetap layak menjadi perhatian seluruh masyarakat. Kejadian itu menggambarkan potensi tindakan radikal memang terbukti riil berada di tengah masyarakat. Paling tidak dari kejadian itu, apapun motifnya, merupakan alarm perlu kewaspadaan dan kesigapan masyarakat terus ditingkatkan.
Potensi radikalisme di tengah masyarakat memang bukan isapan jempol serta mengada-ada. Data-data kualitatif dan kuantitatif cukup jelas memberikan paparan indikasi menghawatirkan itu. Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ahmad Nurwakhid, dalam kesempatan diskusi publik di Kedutaan Besar Prancis, Jakarta beberapa waktu lalu menyebut terdapat 33 juta penduduk terpapar radikalisme di Indonesia.
Angka yang dipaparkan Ahmad Nurwakhid, jika dibanding jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 270 juta, berarti lebih dari 10 persen. Ini artinya, dari sepuluh orang terdapat satu orang terindikasi radikal. Cukup menjelaskan potensi bahaya radikalisme yang mengancam eksistensi Ideologi Pancasila.
Menkominfo Johnny G. Plate menyatakan pihaknya telah melakukan pengawasan 24 jam di media sosial, khususnya yang terindikasi terorisme. Kementerian Kominfo dalam kerjanya menggunakan sistem Artificial Intelligence (AI), sehingga semua konten radikal dapat segera di-takedown. Sekedar ilustrasi per 3 April 2021, terdapat 20.543 konten terindikasi terorisme di media sosial. Menkominfo melanjutkan hingga saat ini pemerintah masih aktif melakukan literasi digital agar masyarakat dapat memilah informasi dan terhindar dari konten radikalisme.
Data paparan Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, akhir Januari lalu, mengatakan telah mencatat adanya 600 akun berpotensi radikal. Sebanyak 650 berkonten propaganda paham radikalisme dengan 409 konten bersifat umum dan informasi serangan, 147 konten anti NKRI, 85 konten anti Pancasila, 7 konten intoleran dan 2 konten berkaitan dengan paham takfiri.
Kian mengkhawatirkan, mereka yang terpapar paham radikalis, takfiri, dan fundamentalis bukan kalangan rakyat biasa. Segenap penyelenggara negara, seperti guru, tenaga kesehatan, bahkan TNI dan Polri ikut terpapar paham ini. Pemerintah, TNI dan Polri tentu perlu terus bersih bersih kedalaman.
Langkah pemerintah melarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang bercita cita mengganti Pancasila dengan Khilafah Islamiyah, serta membubarkan Front Pembela Islam (FPI) yang berulang kali melakukan kekerasan atas nama Islam, sama sekali tidak membunuh gerakan radikalisme berkedok agama dan cita cita mengganti ideologi Pancasila.
Demokrasi yang kita kembangkan bagaikan pisau bermata dua. Atas nama kebebasan dalam demokrasi, mereka tumbuh, dan berbagai sokongan dari gerakan transnasional-internasional baik dalam bentuk biaya, logistik, maupun jaringan. Mereka akan menemukan momentumnya ketika menemukan poros politik di berbagai momentum elektoral. Pilkada Jakarta 2017 menjadi bukti faktual, kelompok kelompok radikal tersebut blocking ke salah satu kandidat, dan mengeksploitasi agama demi memobilisasi dukungan.
Kita patut khawatir namun harus antisipatif, sesaat lagi kita menghadapi tahun politik. Semasa Pemerintahan Joko Widodo, berbagai kaum radikalis, fundamentalis, dan takfiri tiada tempat beraktivitas. Mereka tidak sepenuhnya hilang, aktor aktor dan jaringannya tiarap, sampai menemukan momentum untuk bangkit kembali. Mereka menantikan kekuatan politik yang pas sebagai semang, untuk mendapatkan keuntungan yang mutualistis.
Pileg dan Pilpres 2024 sangat berpeluang dijadikan momentum oleh kelompok kelompok ini untuk momentum konsolidasi. Tanda tandanya mereka sudah mulai menemukan poros politik itu. Mereka mengharapkan imbal hasil perlindungan, dan diakui eksistensinya merangsek kembali ditengah tengah kehidupan sosial rakyat.
Saya tidak perlu menakut nakuti, jika suatu saat mereka besar dan memiliki segenap kekuatan politik secara struktural, bukan tidak mungkin poros politik yang selama ini melindungi mereka yang akan mereka gusur, bahkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia pun akan mereka bubarkan. Oleh sebab kita semua perlu komitmen, jangan hanya momentum keuntungan sesaat saja kita raih, tetapi harga yang harus kita bayar sangat mahal dikemudian hari, yakni pertaruhan Indonesia yang damai, toleran, dan melindungi berbagai kelompok budaya yang majemuk di bawah naungan NKRI.