Oleh : Miqdad Husein
Tak ada yang mengejutkan ketika Partai Nasional Demokrat (Nasdem) mengumumkan Anies Baswedan sebagai calon presidennya. Pertanyaan-pertanyaan mengarah gugatan bahwa Anies bukan kader tidak penting dan terasa mubazir. Apalagi bila menelusuri rekam jejak Nasdem dalam kaitan berbagai kontestasi politik nasional.
Menjelang Pilpres 2014 dan 2019 adalah Nasdem, yang pertama mencalonkan Jokowi sebagai calon presiden. Tidak penting apakah Jokowi kader Nasdem atau bukan. Yang terpenting adalah bagaimana partai pimpinan Surya Paloh itu dapat mengambil keuntungan elektoral sehingga suara pendukung meningkat.
Jangan bicara tentang fungsi ideal partai sebagai institusi untuk kepentingan pendidikan politik masyarakat, termasuk menyiapkan kader di internal partai. Prinsip kepentingan politiklah yang mengemuka. Asal menguntungkan apapun dijalankan termasuk menghianati visi misinya. Lebih parah lagi, mengingkari berbagai prinsip dasar dan retorika yang diteriakkan partainya.
Pada masa Pilpres 2014 dan 2019 terlihat sekali Nasdem memanfaatkan popularitas Jokowi. Nasdem ‘menelikung’ PDI Perjuangan dengan lebih dulu memasang baliho menyebut Jokowi sebagai calon presiden. Bedanya dengan kondisi saat ini, pada periode Pilpres lalu Nasdem tidak memutuskan secara resmi seperti pengumuman Anies Baswedan saat ini.
Seperti Pilpres lalu, pengumuman nama Anies Baswedan sepenuhnya kepentingan elektoral untuk menaikkan pundi-pundi suara Nasdem. Fakta bahwa Anies merupakan sosok yang dalam berbagai survei selalu masuk tiga besar agaknya menjadi pertimbangan utama seperti sikap Nasdem pada Pilpres sebelumnya.
Anies yang tidak memiliki partai menjadi pilihan untuk dimanfaatkan, relatif bebas dari partai lain. Mencalonkan Ganjar Pranovo, jelas akan bersinggungan dengan PDI Perjuangan. Apalagi dengan Prabowo Subianto, yang telah ditegaskan Partai Gerindra merupakan calon presidennya.
Pilihan pada Anies, memang aman dari persinggungan partai lain. Namun, memutuskan mencalonkan Anies sekalipun secara rasional politik bisa diterima atas dasar pijakan kepentingan, secara fatsun politik memperlihatkan betapa Nasdem ‘menghalalkan’ segala cara untuk meraih pundi suara. Tidak peduli menghianati prinsip-prinsip yang selama ini sering diteriakkan.
Paling tidak tiga kali Nasdem telah merasakan betapa politik identitas sungguh-sungguh sangat berbahaya pada kedamaian negeri ini. Nasdem sendiri, terutama ketika Pilpres 2019 merasakan permainan politik identas telah membuat bangsa Indonesia terbelah. Nasdem juga merasakan bagaimana Pilkada Jakarta 2017 demikian brutal karena permainan politik identitas, yang Anies menikmatinya tanpa rasa bersalah. Juga tanpa berupaya mencegah padahal ia demikian getol berteriak tentang keutuhan bangsa.
Di sinilah masyarakat merasa betapa langkah dan gerak Nasdem sungguh-sungguh ‘sangat’ hanya berpikir kepentingan elektoral. Anies adalah simbol politik identitas ketika menjadi pemeran utama pada Pilkada Jakarta. Sepanjang hampir lima tahun ini Nasdempun menjadi kekuatan yang sangat kencang mengkritisi Anies sebagai Gubernur Jakarta, produk permainan politik identitas. Jejak-jejak digital perlawanan Nasdem pada politik identitaspun masih mudah dibuka yang antara lain disuarakan lantang oleh Irma Suryani Chaniago. Lalu, tanpa rasa bersalah sosok yang selama ini dituding Nasdem tiba-tiba dijadikan calon presiden Nasdem. Alamak.
Dalam dunia politik memang ada diktum tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi. Namun demikian, prinsip-prinsip dasar, etika politik, apalagi ketika terbukti telah menjadi penyebab keterbelahan masyarakat, tidak selayaknya dijadikan pilihan langkah. Ini menegaskan betapa Nasdem tidak peduli sama sekali kepada kedamaian negeri ini serta seperti membiarkan kembali kegaduhan akan terjadi pada Pilpres 2024.
Anies, yang seperti dikatakan kolumnis dan budayawan Mohammad Sobary, tidak peduli cara apapun yang ditempuh, yang penting ambisinya tercapai. Ia menikmati sebagai simbiose mutualisme. Nasdem memanfaatkan elektabilitasnya, yang dari berbagai survei relatif tinggi, Anies sendiri memanfaatkan sebagai kendaraan politik.
Kepada masyarakat yang berpikir jernih, perlu bersiap-siap bekerja keras menjaga keutuhan negeri ini, menghadapi potensi distorsi politik penggunaan politik identitas, yang potensial mengganggu kedamaian negeri ini. Selalu ada orang-orang yang hanya berpikir memuaskan syahwat kekuasaan tanpa peduli kedamaian negeri ini terkoyak. Begitulah.