“Anda kelihatan mendukung Pak Jokowi. Memang dapat apa dari Jokowi sehingga begitu bersemangat mendukungnya?” tanya seseorang pada kawannya, yang duduk bersama, di sebuah kafe.
Yang ditanya tersenyum. “Begini. Saya ini bukan PNS, bukan pegawai BUMN, bukan pengusaha yang diuntungkan oleh pemerintah sekarang. Saya itu mendukung Jokowi, karena dia jujur, tidak korupsi, tegas dan responsif, anak-anaknya berbisnis tidak memanfaatkan kekuasaan bapaknya. Itu kan yang juga ditegaskan Pak Mahfud MD. Coba siapa sih, yang meragukan moralitas dan integritas Pak Mahfud?”
Tapi bagaiaman dengan sikap Jokowi yang terkesan anti ummat Islam? Kriminalisasi ulama dan lainnya? Bukankah itu fakta?”
“Untuk jawaban itu, silahkan tanya ke Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Jokowilah Presiden paling sering berkunjung ke dua ormas Islam itu. Juga ke ormas Islam lainnya. Tak perlu saya yang menjawab.”
“Soal kriminalisasi ulama apa buktinya? Ulama yang diproses hukum semua atas dasar laporan masyarakat yang merasa dirugikan. Bukan langsung ditangkap polisi. Itupun semua terkait materi ceramah yang berisi fitnah. Coba sebutkan berapa ulama yang ditahan? Rizieq Shihab tidak dipenjara, Ustad Bachtiar Nasir bisa ke mana-mana, Maher Attuwailibi bebas, Felix Siau masih bisa ceramah dan rajin mengkritik Pak Jokowi. Juga Ustad Abdul Somad walau masih sering mengkampanyekan khilafah bisa ke mana-mana, Tengku Zulkarnaen yang selalu nyinyir kepada Pak Jokowi ngak ditangkap. Praktis ngak ada. Pertanyaannya saya, Rizieq Shihab itu di era SBY dua kali masuk penjara. Abubakar Basyir dipenjara juga di era SBY, Ustad PKS Luffi Hasan Ishak dipenjara tak jauh beda. Kenapa SBY tidak disebut mengkriminalisasi ulama?
Dibanding di era Orba, yang puluhan dan bahkan ratusan ulama ditangkap tanpa proses hukum, di era sekarang bebas. Ulama bebas mengkritik pemerintah. Berpikirlah obyektif. Berimbang, bung,” katanya, dengan nada tinggi.
“Ya ya ya.”
Ini ada informasi menarik dari cerita intelektual Hasanuddin Abdurrahman tentang kesaksian Alm Prof. Umar Anggara Jenie, mantan Kepala LIPI. “Ibunda Jokowi itu sangat zuhud. Beliau rajin puasa Daud. Saya mengenal dengan baik karena satu pengajian dengan ibu saya,” papar Prof. Umar Anggara. “Nah, jika ibunda Jokowi seperti itu, apa iya anaknya anti Islam,” tegas Hasanuddin.
“Bro, Jokowi itu bukan Superman. Ada kekurangan tapi beliau sudah menunjukkan keseriusan bekerja. Memberantas mafia migas, membenahi infrastruktur, membersihkan negeri ini dari praktek pemborosan anggaran dan korupsi. Coba anda bandingkan. Pembangunan tol saja, yang dilakukan Jokowi selama empat tahun, hampir sama panjangnya dengan pembangunan tol yang dibangun dari era Orde Baru sampai era SBY. Jadi panjang tol yang dibangun selama empat tahun di era Jokowi sama dengan panjang tol pemerintah sebelumnya yang lamanya 44 tahun.”
“Wah anda sepertinya tak mau Jokowi dikritik.”
“Tidak begitu. Kritik itu perlu. Kritik sama pentingnya dengan dukungan. Tapi kritiklah yang obyektif jangan atas dasar kebencian. Jangan semua yang dilakukan Jokowi dianggap salah. Itu yang kurang proporsional. Kritik yang kurang baik, berikan apresiasi yang sudah baik.”
“Kayaknya anda bisa diangkat jadi Jubir Jokowi nih hehehe?”
“Hahahaha. Ada ada saja. Saya itu sebenarnya bukan pendukung fanatik Jokowi. Saya hanya ingin mengajak masyarakat berpikir jernih, obyektif tanpa kebencian serta tidak termakan fitnah. Soal mendukung dan memilih Jokowi atau lainnya, bukan masalah utama. Saya sesuai kemampuan hanya mengajak masyarakat cerdas, rasional dan bukan mengedepankan sikap emosional apalagi bermuatan kebencian.”
“Eh, diminum kopinya. Keasyikan diskusi sampai agak dingin nih.” (*)