Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra diberitakan berbagai media telah memutuskan bersedia menjadi pengacara Tim Jokowi-Ma’ruf Amin. Jauh sebelumnya media juga memberitakan bahwa Kapitra Ampera yang selama ini diketahui sebagai pengacara Rizieq Shihab menjadi Calon Legislatif dari PDI Perjuangan.
Dua berita itu bagi sebagian kalangan dianggap hal luar biasa. Seakan merupakan keajaiban dan bahkan dianggap jauh dari kepantasan. Yusril Ihza Mahendra, yang merupakan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) yang dalam kerja profesionalnya menjadi pembela Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dianggap menghianati perjuangan ummat Islam. Demikian pula Kapitra Ampera diteriaki keras “murtad” dari perjuangan ummat Islam Indonesia.
Begitulah persepsi, pemikiran dan pandangan politik hitam putih yang sangat simbolis yang belakangan beredar terutama di media sosial. Karena Jokowi merupakan kader PDI Perjuangan dan Yusril Ihza Mahendra Ketua Umum PBB dua sosok anak bangsa itu diposisikan seperti air dan minyak. Seakan keduanya tak mungkin menyatu. Apalagi ketika kemudian dikesankan pula PDI Perjuangan sebagai partai anti Islam, partai pendukung penista agama. Jarak kedua partai itu, PBB dan PDI Perjuangan dipaparkan seakan sejauh langit dan bumi. Luar biasa.
Kesediaan Yusril Ihza Mahendra menjadi pengacara TIm Jokowi-Ma’ruf Amin dianggap sebagai kontroversi lebih karena cara pandang politik hitam putih, yang disertai simbolisasi bernuansa keagamaan. Padahal berada di manapun Yusril Ihza Mahendra tetap berada dalam ikatan persaudaraan sebangsa.
Inilah cara berpolitik yang dapat menimbulkan ketegangan. Padahal baik PDI Perjuangan maupun PBB merupakan asset politik bangsa yang dilindungi UU. Pendukung kedua partai itu, karena mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam sudah pasti mayoritas beragama Islam. PDI Perjuangan sekalipun merupakan partai nasionalis pemilihnya mayoritas ummat Islam.
Dua partai itu bersama partai lainnya diyakini pula sama-sama berjuang bagi kepentingan meningkatkan kesejahteraan rakyat negeri ini. Perbedaan -jika ada- lebih pada strategi atau methode, konsepsi perjuangannya. Karena itu siapapun yang berada di partai-partai di negeri ini adalah anak bangsa yang selayaknya dapat duduk berdampingan.
Perbedaan yang lebih bersifat sebatas visi dan misi dalam bingkai besar NKRI itu tidak selayaknya diseret ke wilayah ketegangan. Apalagi sampai menimbulkan konflik berdarah-darah.
Jika berbicara lebih menukik lagi pada upaya penyelesaian berbagai persoalan bangsa secara obyektif harus diakui bahwa tak ada sebuah kekuatan politikpun di negeri ini yang bisa bekerja sendirian. Penyelesaian persoalan apapun di negeri yang sangat besar ini memerlukan kebersamaan. Bahkan mereka yang berada di luar kekuasaanpun tetap dibutuhkan perannya dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa Indonesia.
Karena itu batas-batas politik yang ditegakkan atas dasar dikhotomi apapun, apalagi bernuasa keagamaan selayaknya dihindari. Bagaimana mungkin membenturkan PDI Perjuangan dengan PBB sementara pendukung kedua partai itu mayoritas ummat Islam. Bahkan seluruh partai di negeri ini mayoritas pemilihnya adalah ummat Islam.
Kesediaan Yusril Ihza Mahendra menjadi Tim Pengacara Jokowi-Amin dan masuknya Kapitra Ampera di PDI Perjuangan menjadi pembelajaran politik yang diharapkan mencairkan ketegangan serta persepsi hitam putih pada sebagian kalangan masyarakat negeri ini. Bahwa dalam berpolitik sesama anak bangsa sesungguhnya perbedaan antar kekuatan politik sekedar taktik dan strategi perjuangan bagaimana membawa negeri ini menjadi lebih sejahtera, mencapai keadilan dan kemakmuran.
Sesuai ajaran agama Islam, yang layak dikedepankan adalah berlomba-lomba dalam kebaikan untuk membangun bangsa Indonesia menjadi lebih baik. (*)