Oleh: Miqdad Husein
Prabowo Subianto, Calon Presiden Nomor urut dua diberitakan berbagai media marah kepada para wartawan. Prabowo merasa kecewa karena pemberitaan media dinilai tidak menyampaikan jumlah massa riil yang hadir dalam acara Reuni 212 yang diklaimnya mencapai 11 juta.
Capres yang berpasangan dengan Sandiaga Uno itu bahkan menegaskan akan menolak permintaan wawancara dari para wartawan. Dalam pandangan Prabowo, wartawan hanya mau memberitakan hal-hal salah ucapan dan pernyataan dirinya.
Pernyataan bernada menuding wartawan tidak fair terkait acara Reuni 212 itu memang terasa aneh. Apalagi diarahkan pada persoalan pemberitaan Reuni 212. Lho, apa hubungan Prabowo dengan acara Reuni 212. Mengapa tiba-tiba begitu gencar memarahi wartawan. Dia hanya diundang hadir. Sebatas tamu yang mendapat sedikit waktu berorasi.
Jika tokoh-tokoh gerakan Reuni 212 yang mengekspresikan kekecewaan atau bahkan marah bisa dipahami. Karena mereka memang katakanlah sohibul hajat. Ternyata sampai sekarang tak ada protes dari mereka kecuali sekedar berbagai klaim tentang jumlah umat Islam yang hadir.
Di sinilah sangat terasa dan makin jelas dugaan sementara kalangan bahwa Reuni 212 lebih merupakan moment politik ketimbang acara keagamaan. Pernyataan dan kemarahan Prabowo seakan mempertegas ketika merasa kecewa ternyata Reuni 212 jauh dari harapan memberikan efek elektoral. Ya karena wartawan tak memberitakan jumlah kehadiran sesuai keinginannya.
Sebenarnya jika mencermati media baik online maupun cetak serta elektronik semuanya memberitakan momentum Reuni 212. Namun diakui hanya media tertentu saja yang menulis angka kehadiran sesuai klaim panitia misalnya yang menyebut kehadiran 8 juta, ada juga yang 10 juta bahkan 13 juta.
Media-media profesional yang independen praktis tak ada yang menyebutkan angka di atas satu juta. CNN misalnya, menulis dalam kisaran sekitar 750 ribuan.
Media-media seperti CNN, Kompas, Media Indonesia termasuk pula media online yang sudah mapan bersikap sama; memberitakan secara proporsional. Media-media itu bahkan menyertakan penyebutan angka yang hadir dengan analisis ilmiah, hitungan matematis dan tidak sekedar hanya perkiraan selintas.
Penyebutan jumlah atas dasar pijakan ilmiah itu sudah pasti mensyaratkan pertimbangan rasional. Bahwa media memang tidak selayaknya menyampaikan berita terkait jumlah kehadiran Reuni 212 hanya berangkat dari klaim tanpa dasar.
Media-media tentu akan merasa mengkhianati kometmen kehadirannya sebagai sarana pendidikan publik. Pemberitaan sekedar berdasar klaim akan membuat media-media dapat dituding menjadi bagian dari pembodohan kepada masyarakat luas.
Inilah yang dilupakan oleh Prabowo Subianto bahwa media memiliki tanggungjawab moral bersikap jujur sehingga tidak boleh menyampaikan berita menyesatkan kepada masyarakat. Kehadiran sekitar satu juta jelas akan menjadi beban moral bagi media jika harus disebutkan 8, 10 atau sampai 13 juta. Terlalu muskil dan jauh dari jangkauan akal sehat.
Seharusnya Prabowo justru berterima kasih kepada media yang bersikap proporsional. Bagaimanapun data obyektif, yang jauh dari manipulasi atas dasar ‘abs’ dapat menjadi titik tolak analisa akurat dalam perencanaan strategis apapun.
Indonesia perlu bersyukur dan berbangga bahwa ternyata sebagian besar wartawan, putra putri negeri ini masih kometmen dan konsisten bersikap profesional, menjunjung integritas dan terutama moral sehingga tidak tergoda rayuan kepentingan politik instan.