Oleh: Miqdad Husein
Sekalipun sempat menimbulkan kontroversi, salat Jumat pekan lalu akhirnya tidak dilaksanakan. Paling tidak, sebagian besar masjid di Jakarta tidak menyelenggarakan. Sementara di beberapa daerah di luar Jakarta ada masjid yang masih bersikeras menyelenggarakan salat Jumat.
MUI dan Ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah beberapa hari sebelumnya telah memberikan seruan senada agar masjid tak perlu menyelenggarakan salat Jumat, cukup salat dhuhur di rumah saja. Pemerintah dan pemerintah daerah juga menyerukan serupa, agar tak diselenggarakan salat Jumat.
Semua dasar himbauan demi kepentingan keselamatan masyarakat agar terhindar dari kemungkinan terinfeksi virus Corona. Berkumpulnya orang-orang dalam momen relatif besar seperti salat Jumat, berpeluang menjadi tempat subur penyebaran virus Corona.
Di sini sangat jelas, persoalannya bukan salat Jumatnya tetapi berkumpulnya orang-orang dalam jumlah besar. Jadi, tak hanya salat Jumat. Kerumunan apapun dihimbau dilarang bahkan belakangan makin dipertegas akan ditindak jika masih saja ada masyarakat ‘ngeyel.’
Salat Jumat menjadi perhatian lebih serius karena merupakan kerumunan besar. Ditambah kebiasaan berjabat tangan antar jamaah, makin besar kemungkinan penyebaran virus Corona jika ada yang sebelumnya terinfeksi. Secara medis, persentuhan tangan merupakan salah satu penyebab penyebaran virus Corona.
Ada sebagian kecil masyarakat yang bersikeras memaksakan menyelenggarakan salat Jumat. Alasannya, salat Jumat wajib. Demikian pula salat berjamaah pada setiap waktu salat wajib.
Sikap bersikeras itu mempertentangan dalil agama dan kebutuhan keselamatan masyarakat. Seakan ajaran Islam tak sejalan ilmu pengetahuan tentang kesehatan. Padahal banyak data sejarah yang memberikan tuntunan terkait pertimbangan kondisi.
Peristiwa kunjungan Khalifah Umar bin Khattab ke Syam yang sedang dilanda wabah sempat beredar di media sosial dan media mainstream memberikan paparan bagaimana bersikap menghadapi kondisi darurat karena ada wabah penyakit berbahaya.
Sebuah moment penting ketika Fathul Makkah juga bisa menjadi acuan bagaimana peribadatan harus dibatalkan demi keselamatan. Saat itu sedang bulan puasa dan panas sangat terik. Nabi Muhammad memerintahkan untuk membatalkan puasa karena dianggap berbahaya bila tetap berpuasa dalam kondisi panas luar biasa, apalagi usai perjalanan panjang.
Diriwayatkan saat itu ada beberapa sahabat yang bersikeras meneruskan puasa. Mendengar perilaku sahabat yang tak mau membatalkan puasa Nabi bersikap tegas dengan mengingatkan agar jangan mendzalimi diri sendiri.
Perintah Nabi membatalkan puasa jika dikaji lebih dalam jelas beralasan lebih ringan dibanding situasi sekarang. Penyebaran virus Corona sekarang ini sangat berbahaya dan mengancam nyawa. Jangan lupa, himbauan tidak melaksanakan salat Jumat masih mendapat ganti salat dzuhur. Jadi masih memberikan pilihan peribadatan dalam bentuk lain.
Pelaksanaan salat wajib lainnya tetap dihimbau dilaksanakan di rumah walau mungkin relatif mudah terkontrol karena tidak terlalu banyak. Namun tentu tetap lebih baik dilaksanakan di rumah.
Agama Islam diturunkan sebagai rahmatan lil alamin, menaburkan rahmat pada alam semesta. Ini sering dikumandangkan oleh para khotib, ustadz, ustadzah. Semua peribadatan dalam Islam mengandung hikmah luar biasa. Bahkan salat yang merupakan ibadah paling tidak rasionalpun ternyata menyimpan hikmah dan pelajaran luar biasa.
Kembali pada kisah Nabi Muhammad saat Fathul Mekkah yang memaparkan ada situasi darurat yang bila seseorang melaksanakan peribadatan dapat membahayakan. Puasa wajib dibatalkan dan diganti lain waktu. Demikian pula salat Jumat diganti salat dhuhur.
Pertanyaannya, bila puasa wajib dalam situasi panas luar biasa, membahayakan nyawa manusia ternyata diperintahkan dibatalkan, apakah ummat Islam tetap memaksakan meneruskan salat Jumat yang berdasarkan kajian medis membahayakan nyawa manusia. Ancamannya kematian massal!
Sangat jelas, mengacu pada pelajaran dari Nabi Muhammad, sudah seharusnya ummat Islam, tidak memaksakan diri. Salat Jumat yang seharusnya mewujudkan rahmatan lil alamin, bila dipaksakan dalam kondisi darurat seperti sekarang bisa berubah menjadi malapetaka bagi manusia.
Islam itu agama sangat rasional. Jangan pertentangkan ajaran Islam dengan kajian dan analisa medis hanya karena semangat beribadah tanpa didasari kejernihan berpikir. Ini hanya darurat. Jika ummat Islam boleh makan babi dalam keadaan darurat, apalagi hanya mengganti salat Jumat dengan sholat dzuhur untuk kepentingan keselamatan.
Berpikir jernih tanpa prasangka, demi keselamatan dan kemaslahatan ummat.