Oleh : MH. Said Abdullah
Sebuah berita menarik tentang pernyataan Abu Bakar Ba’asyir yang menerima Pancasila ditayangkan website detik.com. Pendiri Ponpes Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo itu mengakui Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Melalui video Ba’asyir menyebut dulunya menilai Pancasila adalah syirik.
“Dulunya saya, menyebut Pancasila itu syirik. Saya begitu dulu. Tapi setelah saya pelajari selanjutnya, ngak mungkin ulama menyetujui dasar negara syirik. Itu ngak mungkin. Karena ulama itu mesti niatnya ikhlas,” ujar Abu Bakar Ba’asyir dalam video, yang diakui keasliannya oleh Abdul Rochim, putranya.
Pernyataan Abu Bakar Ba’asyir jelas merupakan angin segar yang diharapkan memberikan dan menebarkan pencerahan kepada siapapun yang masih meragukan Pancasila. Bahwa sejarah proses kelahiran Pancasila jelas tak bisa lepas dari nilai-nilai spiritual, yang dalam sudut pandang keislaman bermuatan serta bersemangat ketauhidan.
Cara pandang Abu Bakar Ba’asyir sebelumnya, demikian pula sebagian kecil masyarakat lainnya, yang menganggap Pancasila syirik lebih disebabkan pemahaman didasarkan keterputusan persambungan sejarah proses kelahiran Pancila. Nilai-nilai lima dasar itu dilepaskan dari asbabun nuzulnya -suasana kejiwaan dan latar belakang, yang secara obyektif kental nilai-nilai spiritual. Kecenderungan Pancasila dijadikan alat kekuasaan menghadapi lawan politik di masa Orde Baru, makin membelokkan kesalahan pemahaman terhadap Pancasila.
Paradigma berpikir yang lebih mengedepankan -meminjam istilah kolomnis Mohammad Sobary- kurungan di kalangan sebagian masyarakat muslim berpikiran sempit makin menciptakan jarak antara Pancasila dan nilai-nilai Islam. Padahal dari rangkaian kalimat lima sila Pancasila, nuansa spiritual dari perspektif seluruh ummat beragama sangat kental. Apalagi jika lebih mendalami dan mencermati subtansi nilai-nilai Pancasila.
Dalam momentum peringatan hari Kemerdekaan Indonesia, pada bulan Agustus ini, makin terasa urgensi untuk mengajak masyarakat yang selama ini lebih berpikir melalui cara pandang artifisial dan skriptual atau sebatas permukaan yang keluar dari konteks untuk lebih memahami sejarah perjalanan kelahiran Pancasila. Melalui pemahaman kesejarahan dapat memposisikan Pancasila bebas dari berbagai muatan kepentingan politik sehingga mampu menangkap subtansi indahnya. Bahwa Pancasila, merupakan perwujudan moralitas spiritual masyarakat Indonesia, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, mendorong parameter dalam memandang Pancasila, didasarkan pada nilai-nilai subtansi keislaman dan nilai keagamaan lainnya. Akan sangat jelas persambungan nilai-nilai Islam dengan sila-sila Pancasila. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial merupakan sila yang dalam konteks obyektif menjadi titik temu keislaman dan keterikatan keagamaan masyarakat lainnya. Bukankah semua agama yang berada di negeri ini salah satu tujuannya mewujudkan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial?
Cara pandang atas dasar paremeter simbolik, seperti selama ini dikembangkan oleh HTI dan berbagai kekuatan kepentingan politik di luar sistem lainnya, akan berbenturan dengan ideologi apapun. Tidak hanya dengan Pancasila. Sebab, yang dikedepankan perbedaan simbolik dan bukan upaya mencari persamaan subtansi dari tujuan kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan.
Sekedar perbandingan, jika berbagai agama dalam interaksi sosial mengedepankan sisi simboliknya, sebatas identitas seremonial, yang akan lebih terlihat pada perbedaannya bahkan dapat mengarah pada ketegangan sosial. Namun, jika subtansi tujuan agama, yang dijadikan energi interaksi sosial, akan mudah ditemukan titik temu antar agama. Bukankah semua agama bertujuan memberantas kemiskinan, memerangi keterbelakangan, mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian?
Contoh kongkrit aktual tentang pandemi Covid-19 saat sekarang ini. Semua negara dapat duduk bersama, bekerja sama, bahu membahu tanpa melihat bungkus bernama ideologi. Semua negara, yang berideologi kapitalis, komunis, Islam, kerajaan, republik dan lainnya bersinergi bahu membahu mengatasi pandami Covid-19. Tanpa kebersamaan seluruh negara, pandemi bukan hanya sulit teratasi bahkan dapat makin meluas hingga lebih menyengsarakan seluruh masyarakat dunia.
Jika tujuan bermasyarakat, bernegara, berbangsa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, lalu mengapa harus terperangkap dan sibuk mengedepankan perbedaan apalagi hanya sebatas simbolik. Pancasila telah menjadi komitmen seluruh rakyat Indonesia, sebagai ideologi yang sungguh sangat luar biasa dalam memayungi keanekaragaman negeri ini. Marilah, melaksanakan nilai-nilai Pancasila melalui langkah-langkah riil dan obyektif, saling bersinergi dengan tujuan mewujudkan antara lain keadilan dan kesejahteraan rakyat.