JAKARTA | koranmadura.com – Pemberdayaan madrasah terkesan setengah hati meski telah berusia seratus tahun. Hal ini tercermin dari alokasi anggaran pengembangan pendidikan madrasah masih dibilang kecil.
“Anggaran dari APBN Rp 18,7 triliun untuk madrasah itu habis untuk membayar hal-hal wajib saja dan masih tersisa kurang dari Rp 1 triliun,” kata Direktur Pendidikan Madrasah Kemenag RI Prof. DR. Nur Cholis Setiawan dalam diskusi “Tasheh Draft Naskah Akademik RUU Pendidikan Madrasah” bersama Ketua F-PKB Ida Fauziyah, Dr. Hadiat MA (Direktur Pendidikan dan Agama Bappenas RI), HZ. Arifin Junaidi (Ketua PP LP Ma’arif NU) di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (22/6).
Menurut Nur Kholis, kehadiran negara dalam pendidikan madrasah hampir tidak ada. Bahkan pemerintah masih diskriminatif. Terlebih PP No.19 tahun 2016 tentang tunjangan gaji ke-13 untuk 76.551 guru non PNS dihapus. Padahal, jumlah lembaga pendidikan madrasah mencapai 776,893 ribu.
Walaupun dengan alasan sekolah di daerah menjadi tanggung jawab bupati, walikota, dan gubernur, tapi kata Nur Kholis, kenapa pemerintah pusat masih mengelola 40 % dana Bansos dari Rp40 T? “Kalau caranya seperti ini, pengelolaan madrasah tak akan berkembang. Padahal, anggaran dari APBN Rp 18,7 T untuk madrasah habis untuk membayar yang wajib, dan tersisa kurang dari Rp 1 triliun,” tambahnya.
Dikatakan, dari 94 % madrasah yang dikelola masyarakat, terdapat 16 % atau 813 ribu guru PNS, 84 % non PNS dengan tantangan berat. Tantangan itu antara lain soal gaji, tunjangan dan sertifikasi yang masih memprihatinkan. “Itulah antara lain yang harus diperhatikan RUU Pendidikan Madrasah,” jelas Nur Kholis.
Direktur Pendidikan dan Agama Hadiat menegaskan, kebiajakan antara pendidkan madrasah dan pendidikan umum tidak berbeda.Posisinya sama dan APBN pendidikan dari tahun ke tahun terus meningkat. Jika ternyata masih ada kesenjangan, ke depan harus diperbaiki. Dan harus diperhatikan dalam RUU Pendidikan Madrasah ini,” jelasnya.
Sementara Ketua FPKB DPR RI Hj. Ida Fauziyah menegaskan pendidikan madrasah yang sudah berusia ratusan tahun selama ini belum mendapatkan perhatian berarti dari pemerintah. Sehingga kehadiran negara untuk memberdayakan madrasah dipertanyakan.
Padahal, kata Ida, seperti madrasah di Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, itu umurnya sudah satu abad. Usia yang melebihi kemerdekaan bangsa Indonesia sendiri. “Selama ini 94% pendidikan madrasah dikeola oleh masyarakat, maka negara sangat beruntung dimana upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara diambil-alih oleh masyarakat, tanpa bantuan negara. Lalu, dengan kondisi madrasah yang tertinggal khususnya dari sisi anggaran (APBN dan APBD) pemeirntah akan tetap diam?” ungkapnya
Menurut Ida, pendidikan madrasah itu dalam kondisi memprihatinkan, atau tidak hidup tapi juga tidak pula mati (layamutu wala yahya). Belum lagi berbicara guru, bangunan, infrastruktur, dan sebagainya. “Gaji guru saja jauh dari standar UMR atau UMK. Bahkan masih banyak yang digaji Rp 100 ribu sebulan. Tapi, mereka tetap semangat untuk mengabdi kepada masyarakat,” ujarnya.
Karena itu kata Ida Fauziyah, negara harus hadir melalui RUU Pendidikan Madrasah sebagai payung hukum, untuk menunjukkan keperpihakan negara melalui anggaran (APBN dan APBD). “Makanya FPKB DPR akan terus memperjuangkan anggaran madrasah ini meski pemerintah saat ini terus melakukan pemotongan anggaran,” urainya. (GAM/ABD)