JAKARTA-Pemerintah harus mempertimbangkan kembali dampak negatif dari penggunaan pembiayaaa utang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sudah mendekati angka Rp 2.000 triliun. Dengan posisi utang yang besar ini maka rata-rata setiap warga negara Indonesia menanggung utang sekitar 8,5 juta rupiah. Menurut Direktur Koalisi Anti Utang, Dani Setiawan, pemerintah akan menghadapi resiko keuangan dan politik jika utang terus menjadi andalan pemerintah. “Baik utang luar negeri atau SBN keduanya memiliki resiko keuangan yang sama besar saat ini,” ujar Dani saat diskusi bertajuk ‘Kebijakan Pro Asing + Utang SBY = Negara Bankrut’ di Jakarta, Minggu (7/6).
Hal tersebut kata Dani dapat dilihat dari terus meningkatnya beban pembayaran utang dalam APBN. Berdasarkan data KAU, pasca krisis moneter pada tahun 1997/1998, utang luar negeri pemerintah membengkak dalam jumlah sangat besar. Sebelum krisis, jumlah utang luar negeri pemerintah masih sekitar 53,8 miliar dollar AS. Karena pemerintah terus menambah pembuatan utang luar negeri baru maka jumlahnya membengkak menjadi sekitar 117.790 miliar dollar AS pada April 2013. Jika ditambah dengan Surat Berharga Negara maka secara keseluruhan total utang pemerintah Indonesia hingga April 2013 telah mencapai 2.023,72 triliun rupiah.
Ini artinya, rata-rata setiap warga negara Indonesia menanggung utang sekitar 8,5 juta rupiah. “Utang pemerintah di masa pemerintahan SBY mengalami peningkatan hingga mencapai 724,22 triliun rupiah dari akhir tahun 2004, dimana jumlah utang pemerintah masih sekitar 1.299,50 triliun rupiah. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda bahwa pemerintah akan mengurangi utang secara signifikan,” tegas dia.
Pada utang luar negeri,kata dia penggunaan mata uang keras dunia dapat menimbulkan resiko fluktuasi nilai tukar rupiah bila terjadi goncangan eksternal. Hal ini tentu akan menyebabkan beban pembayaran meningkat. Sementara dalam SBN penawaran yield yang masih tinggi jelas akan menimbulkan beban yang lebih besar. “Semakin tingginya nilai utang luar negeri pemerintah akan memudahkan kreditur asing untuk mengarahkan kebijakan ekonomi nasional, terutama kebijakan impor. Dana-dana asing lewat utang dan hibah luar negeri yang diterima pemerintah telah menyebabkan intervensi mendalam pada kebijakan ekonomi. Pemerintah sudah diarahkan untuk membuka keran impor pangan, bahan baku dan barang modal,” kata dia.
Selain itu kata dia, utang luar negeri juga berimpilikasi resiko politik yang sangat besar. Pasalnya, utang ini dibayar dengan cara intervensi kebijakan. Dalam konteks SBN, pemerintah pasti akan terjebak pada kebijakan-kebijakan yang lebih menekankan pada penciptaan iklim investasi yang kondusif bagi investor surat berharga. “Utang pemerintah tidak hanya menimbulkan konsekwensi beban yang besar dalam anggaran Negara, juga telah meningkatkan dominasi modal asing dalam kegiatan ekonomi nasional,” jelas dia.
Kondisi utang pemerintah yang terus meningkat, lanjut dia menyebabkan anggaran negara terus tersedot untuk membayar utang. Total pembayaran cicilan pokok dan bunga utang pada tahun 2005 mencapai 126.768 triliun rupiah, atau sekitar 24,8 persen dari total belanja negara yang berjumlah 509.632 triliun rupiah.
Pada tahun 2013, pemerintah merencanakan membayar cicilan pokok dan bunga utang sebesar 299,708 triliun rupiah, atau sekitar 17,3 persen dari total belanja negara pada APBNP 2013 yang berjumlah 1.726,2 triliun rupiah.
Total pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri sejak 2005-2012 telah mencapai 1.584,879 triliun rupiah. Ini artinya, jika pemerintah selalu menjadikan subsidi BBM sebagai kambing hitam, maka sebenarnya lewat pembayaran utang, pemerintah terus memberikan subsidi kepada pihak asing, orang kaya pemilik surat berharga negara dengan imbal-hasil yang tinggi, serta sejumlah perbankan yang menikmati pembayaran bunga obligasi rekap.
Hal ini sangat kontras dengan porsi anggaran kemiskinan yang hanya mencapai 23 triliun rupiah pada tahun 2005, atau hanya sekitar 4,5 persen dari total belanja negara. Pada tahun 2013 total anggaran kemiskinan berjumlah 115,5 triliun rupiah, atau hanya sekitar 6,7 persen dari total belanja negara.
Lebih lanjut Dani mengatakan kebijakan pembayaran obligasi rekap memang harus digugat. Selain merugikan keuangan negara, juga sangat tidak adil bagi masyarakat kebanyakan. (gam/bud).