Di tengah perhelatan perayaan Natal masyarakat Kristiani dan momen menjelang pergantian tahun menyelinap pesan melalui whatsapp dan media sosial lain berbagai himbauan agar tidak merayakannya. Umat Islam “ditakut-takuti” dalil agar tak meniup terompet, menyalakan kembang api dan membunyikan apapun dalam pergantian tahun. Soal Natal, lebih beragam lagi pesan larangan terutama menghadiri misa dan mengucapkan Selamat Natal.
Sebuah pesan spesifik sempat pula beredar agar umat Islam lebih baik berzikir atau tinggal di rumah saja dalam pergantian tahun. Tujuannya agar tak terjadi gegap gempita pergantian tahun yang sama sekali tak memiliki kaitan dengan umat Islam. “Ayo galakkan gerakan tidak keluar rumah dalam pergantian tahun dan lebih baik umat Islam merayakan tahun baru Hijriyah,” begitu antara lain pesan berantai yang beredar.
Seorang anggota group Whatsapp yang relatif aktif memberi komentar sinis. “Jika ingin tahun baru hijriyah lebih meriah dan gempita serta momen pergantian tahun baru miladiyah sepi, ganti waktu liburan sekolah dan tutup buku perusahaan. Geser ke tahun hijriyah,” katanya.
Ia, ingin mengingatkan secara tersirat bahwa kemeriahan pergantian tahun miladiyah tidaklah berdiri sendiri. Bahwa moment tahun miladiyah lebih ramai merupakan konsekuensi dari mekanisme durasi berbagai hal seperti perusahaan tutup buku, anak sekolah libur yang sudah berjalan relatif lama. Penentuan hari Natal tanggal 25 Desemberpun, yang disederhanakan sebagai hari kelahiran Yesus, diduga memanfaatkan moment pergantian tahun. Sebab, sangat mudah untuk mengetahui kelahiran Yesus sebenarnya bukanlah di sekitar bulan Desember melainkan di pertengahan tahun ketika kurma sedang berbuah matang.
Jadi bukan kemeriahan Natal yang menyebabkan kemeriahan tahun baru. Kemeriahan tahun barulah yang membawa suasana dan kesan seakan Natal begitu gempita di berbagai penjuru dunia, terutama di negara yang masyarakatnya mayoritas Kristiani. Ya itu tadi, kepandaian menentukan perayaan hari lahir Yesus pada menjelang akhir tahun miladiyah memanfaatkan pergantian tahun, yang secara riil sebenarnya tak berkaitan dengan agama.
Bisa jadi jika tahun baru 1 muharram jatuh bersamaan dengan pergantian tahun miladiyah, kemeriahannya akan berbeda. Atau, misalnya tanggal 12 Rabiul Awal, kelahiran Nabi Muhammad jatuh dalam moment tahun baru, berpotensi meriah juga.
Sangat mudah memahami bahwa pergantian tahun sebenarnya jauh dari berbagai moment keagamaan apapun. Para penganut agama apapun sebenarnya lebih memanfaatkan pergantian tahun seakan sebagai moment keagamaan. Karena itu tidak usah aneh bila pada pergantian tahun seluruh umat beragama seperti bergerak bersama-sama merayakannya. Mereka sama sekali tak berpikir persoalan agama. Mereka menimati liburan dan cuti kerja serta –bagi karyawan perusahaan tempat kerja yang untung besar- mensyukuri bonus akhir tahun.
Bagaimana umat Islam memandang pergantian tahun? Tergantung tingkat kualitas keterikatan keagamaannya serta kondisi terkait aktivitas sosialnya. Selayaknya pergantian tahun –yang sebenarnya biasa saja- diisi dan dimaknai sesuai ajaran Islam. Dalam konteks keagamaan, misalnya dijadikan momentum untuk mengevaluasi diri tanpa menganggap pergantian tahun sebagai spesial. Katakanlah, lebih sekedar memanfaatkan moment.
Secara sosial, karena mungkin sedang berbarengan dengan liburan sekolah, cuti kerja serta sedang mendapatkan bonus keuntungan perusahaan, tentu cara memanfaatkannya sejalan dengan ajaran agama Islam. Liburan, rihlah, tadabur alam bersama keluarga mungkin bisa menjadi pilihan setelah tafakur. Ini akan mempererat tali persaudaraan, keharmonisan keluarga serta terutama memperkuat fondasi hubungan keluarga di tengah maraknya berbagai pengaruh buruk, yang bertebaran di luar rumah.
Sesederhana itu sebenarnya persoalan pergantian tahun. Tak perlu dibuat rumit dengan memberi berbagai muatan seakan kepentingan agama ini, agama itu dan sebagainya. Ini lebih merupakan sebuah representasi peradaban yang bersifat universal. Siapa yang mampu mengisi dengan kreativitas dan aktivitas cerdas, merekalah yang mendapatkan “keberkahan” tahun baru. Sebaliknya, jika digunakan sekedar hura-hura, bersiap-siaplah di awal tahun kebingungan mencari uang belanja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Jadi, tak usah lebaylah. Gitu saja.