Oleh: H. Darmadi*
Korupsi di negeri ini memang bisa dikatakan telah mencapai perjalanan yang memuncak, tanda-tanda dari situasi ini dapat kita lihat dari beberapa fakta yang sungguh membuat kita miris, mulai dari besarnya anggaran untuk pemberantasan korupsi, sangat rapi dan sistemisnya jaringan pelaku korupsi.
Hal tersebut dapat kita ketahui dari terungkapnya beberapa korupsi berjama’ah yang terjadi baik di pusat maupun di daerah. Hingga munculnya berbagai reaksi keras masyarakat termasuk seruan klaim kebohongan pemerintah yang disampaikan beberapa tokoh agama, penyamaan pemimpin dengan kerbau karena dituduh tidak tegas memberantas korupsi, serta tindakan keras masyarakat lainnya untuk merespon semakin klimaksnya korupsi di negeri ini.
Lalu apakah benar korupsi telah membudaya atau menjadi bagian dari budaya masyarakat kita?. Di Hongkong pertanyaan semacam ini pernah muncul dan membayangi masyarakatnya, kondisi korupsi di Hongkong pernah mencapai puncak, sampai -sampai mobil pemadam kebakaran yang sudah datang di lokasi kebakaran baru akan menyemprotkan airnya jika korban kebakaran sudah memberikan sejumlah uang suap, dokter-dokter di rumah sakit baru akan mau menyuntikkan obat kalau keluarga si-pasien yang kondisinya hampir sekarat mau menyediakan sejumlah uang tambahan. Namun tingkat Korupsi di hongkong dewasa ini sangat jauh menurun karena adanya upaya serius baik dalam upaya penindakan maupun upaya pencegahan korupsi
Jika ditilik dari sisi hasil, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tentu masih jauh panggang dari api , upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bukannya tidak ada, berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan baik oleh oleh Negara maupun oleh masyarakat, upaya Negara dapat kita lihat dengan dibuatnya Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengamanatkan dibentuknya KPK yang sering disebut dengan lembaga super body karena dibekali dengan kewenangan luar biasa termasuk kewenangan untuk melakukan penyadapan dan pemeriksaan pejabat Negara dengan prosedur yang sangat sederhana. Undang-undang yang telah mengalami dua kali revisi tersebut juga mengamanatkan adanya pengadilan tindak pidana korupsi atau pengadilan tipikor yang berwenang mengadili kasus-kasus korupsi yang hingga sekarang keberadaanya telah didirikan hingga tingkat provinsi. Selain upaya membuat undang-undang dan lembaga Negara baru, Negara juga mendorong berfungsinya lembaga-lembaga hukum yang telah ada seperti Kejaksaan, pengadilan dan Kepolisian, lembaga-lembaga ini juga telah bergerak bahkan sampai timbul kesan “mengejar setoran” karena banyak kasus- kasus yang kesannya “dipaksakan untuk menjadi kasus korupsi”. Selain upaya penindakan lembaga-lembaga tersebut juga melakukan berbagai upaya pencegahan terjadinya korupsi termasuk upaya kejaksaan menggandeng sekolah-sekolah untuk mendirikan kantin kejujuran yang perlu kita pertanyakan sampai sejauh mana jeluntrungnya.
Upaya melawan korupsi juga dilakukan oleh masyarakat baik melalui Ormas dan LSM, dalam upaya ini NU dan Muhammadiyah telah menjadi pelopor dengan dideklarasikanya Gerakan Nasional Anti-Korupsi NU-Muhammadiyah, Kedua Ormas Islam ini sepakat bahwa melawan korupsi adalah Jihad fi sabilillah, namun disayangkan gerakan ini kurang begitu dirasakan resonansinya, padahal dari sisi jaringan dan banyaknya anggota, dua ormas islam ini memiliki anggota dan jaringan sampei ke pelosok desa. NU sendiri sejauh ini sebenarnya telah melakukan berbagai upaya termasuk berkerjasama dengan Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) membuat Bahsul masa’il gerakan anti korupsi (BM-GAK), namun selain kurang melibatkan keikutsertaan pesantren secara lebih luas gerakan ini juga masih sebatas Bahsul masa’il, padahal jika kita melihat besarnya potensi pesantren-pesantren NU, semestinya banyak pilihan-pilihan strategis yang bisa dilakukan dalam rangka memperkuat jihad melawan korupsi.
Peran Pesantren
Pesatren sebagai lembaga pendidikan yang terbukti mampu menyentuh sisi kognitif, afektif dan psikomotorik santri atau peserta didiknya, tentu merupakan media yang tepat untuk membentuk karakter manusia Indonesia yang bersih dan anti korupsi. Usaha memperkenalkan santri dengan pengelolaan keuangan yang memiliki resiko terjadinya korupsi dapat dilakukan dengan memanfaatkan kopontren atau lembaga ekonomi milik pesantren lainnya, dengan demikian para santri tidak hanya dibekali dengan seperangkat pengetahuan tentang nilai-nilai moral etik keislaman, tetapi juga dibekali dengan pengalaman praksis karena kalau direfleksikan sesungguhnya tidak ada yang salah dengan segala ilmu dan pengetahuan yang diajarkan baik oleh guru di sekolah maupun ustad di pesantren tetapi justru pengaruh lingkungan pasca sekolah dan pesantren yang mulai memperkenalkan kita dengan apa itu manipulasi, kolusi dan segala macam modus dan bentuk korupsi. Lingkungan paska pesantren itu adalah dunia nyata yang akan kita hadapi dan akan menguji seperangkat nilai moral dan etika keislaman yang selama ini kita dapatkan di pesantren dan di sekolah.
Gagasan untuk mendorong pesantren terlibat aktif dalam jihad melawan korupsi tidak boleh dikalahkan dengan pandangan apatis sebagian masyarakat yang menganggap bahwa memberantas korupsi di Indonesia adalah upaya tidak masuk akal dan mustahil dilakukan, pandangan ini sama halnya dengan menganggap bahwa melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar itu upaya tidak masuk akal dan mustahil dilakukan. Upaya mendorong keterlibatan pesantren dalam gerakan jihad melawan korupsi harus dimulai dari membangunkan kesadaran dan kepeduliaan kalangan pesantren terhadap bahaya korupsi itu sendiri, harus ada upaya menanamkan pemahan komprehensif tentang korupsi dengan segala sebab dan akibatnya, kalau Hongkong saja bisa kenapa Indonesia tidak? Dengan mayoritas ummat Islamnya dengan pesantren-pesantrennya.
*) Pegawai Fungsional Guru Kantor Kemenag Kab.Lampung Tengah, Dosen STKIP Kumala Lampung