Oleh: Abrari Alzael
Budayawan Muda Madura
Orangtua, sering menyebut anaknya serupa malaikat kecil. Itu lantaran anak sering mendekonstruksi lelah dan memigrasinya menjadi senyum, seletih apapun orangtua. Anak adalah sesuatu banget yang menyiratkan semangat orangtua untuk ikhtiar.
Tetapi belakangan, anak menjadi sesuatu yang tidak banget abis. Anak kerap menjadi obyek, tempat pelampiasan apa saja. Dalam bahasa yang lebih nagras, anak menjadi kata benda yang dieksploitasi oleh orang tuanya sendiri, kerabat, tetangga, bahkan ibu tiri.
Angeline itu, bocah 8 tahun yang lebih dari 20 hari hilang, mengapa dibunuh dan jauh sebelum itu diperkosa? Ini sedikit tamsil dari banyak hal dimana hal serupa terjadi, di mana pun, di negeri ini, sebuah bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada situasi di mana seorang anak diperkosa, dibunuh, lalu dikubur di sekitar kandang ayam, maka di manakah beradabnya manusia? Tidakkah ia juga manusia dan begitu muda usianya, orangtua menisbatkannya sebagai malaikat kecil.
Dari posisi ditemukannya Angeline, mendekap boneka kesayangannya; Barbie, menegaskan ada dugaan rekayasa, disengaja. Siapa yang menye-ngaja, pastilah bukan srigala karena sebuas apapun ia, agak susah menerkeam anaknya sendiri, sebangsa srigala. Di sinilah nestapa manusia kontemporer terjadi ketika nafsu berkuasa atas harta menjadi lebih binal dari hewan manapun. Ada kegagalan massif pada habitat manusia untuk sekedar menggergaji binatangisme, pada dirinya.
Merujuk sejumlah peristiwa tentang durja-manusia, boleh jadi semakin menjelaskan bahwa setan maupun iblis bermutasi. Keduanya boleh jadi sangat marah ketika manusia mengambil alih tugas-tugasnya sebagai sang penggoda, pengganggu. Diskursus tentang setan dan iblis, jangan-jangan sudah berakhir karena hamba durja melampaui kebengisan apapun. Setan dan iblis, jangan-jangan ini hanya diktum untuk melindungi jati diri manusia durja karena ayat tuhan memujanya sebagai yang lebih mulia dari makhluk apapun?
Meski begitu, Tuhan tidak pernah salah karena pada ayat yang lain ada wujud manusia yang diceritakan jauh lebih hewan dari binatang apapun. Itu sebabnya tidak habis pikir, ketika naluri seorang ibu, kakak, dan saudara sebangsa se tanah air menganggap anak-anak sebagai musuh yang mengancam dan dengan alasan itu membunuhnya, beramai-ramai, pada proses fight yang tentu saja sangat tidak imbang. Pada situasi ini pun, penganiayaan orangtua, bermai-ramai, dan bersekutu dengan banyak pihak untukl seorang bocah, malaikat kecil, tentu saja ini kejahatan tersendiri; bengis dan sadis.
Ada paradoks yang luar biasa menggelengkan kepala karena mencengangkan ketika anak-anak sorga dirampas hak hidupnya justru karena cemburu pada persentase harta, pembagian waris. Anakmu bukanlah milikmu serupa Gibran yang mendedahkan warisan diksi; Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu (yang kasar dan barbar). Tuhan ada untuk kita tidak untuk dicincang demi uang dan keserakahan.[*]