Oleh: Miqdad Husein
Pernyataan Ali bin Abi Thalib bahwa sering kegaduhan di tengah masyarakat karena orang-orang tak mengerti persoalan ikut berkomentar, semakin terbukti di era Media Sosial sekarang ini. Makin kerap ditemui seorang sama sekali tidak mengerti apa yang diterima maupun yang disebarkan di Media Sosial.
Masih relatif baik jika yang menerima memahami dan berupaya meluruskan persoalan. Namun jika tak ada kepedulian maka makin tersebar ketaktahuan dan ketakjelasan persoalan yang sudah berpindah tangan entah berapa kali itu.
Seorang kawan punya pengalaman menarik. Di wall media sosialnya ada postingan bernada provokatif antara lain berisi kalimat sarkastik: agama dihina di masa rezim pemerintahan Jokowi.
Kawan yang berlatarbelakang jurnalis itu mencoba bersikap ramah seakan membenarkan. Ia berlagak ingin membantu menyebarkan. Lalu dengan halus bertanya, “Tolong bisa dikasih contoh bagaimana agama dihina agar saya nanti bisa menjawab kalau ditanya orang lain,” ujarnya mencoba ramah.
Berbagai alasan dikemukakan tapi tetap ia tak bisa memberikan contoh. Akhirnya keluar kalimat pamungkas, “Anda kan bisa mengalisa sendiri situasi sekarang ini yang memperlihatkan agama dihina,” katanya.
Terlihat sekali ia bukan hanya tak mampu memberikan contoh. Ia sendiri tampak tidak memahami apa yang dipostingnya.
Bahkan ketika ditanya tentang persekusi dakwah dan kriminalisasi ulama yang juga dipostingnya tak bisa menjawab dengan jelas. Makin terlihat ketakpahamannya.
Fenomena gagal paham ini menggejala merasuki perilaku masyarakat dalam bermedia sosial. Ditambah itikad para produsen hoaks yang sama sekali tak memiliki pertimbangan moral terkait dampak kerusakan pemikiran masyarakat, fenomena “mengerikan” itu memperlihatkan kecenderungan peningkatan. Apalagi menjelang pelaksanaan Pilpres dan Pileg, menyebarkan hoaks, fitnah dan ketakjelasan informasi dianggap cara efektif meningkatkan elektabilitas.
Disadari atau tidak, belakangan ini atas nama kepentingan elektabilitas merebak sejenis manipulasi dan korupsi pemahaman. Para petualang memanfaatkan ketaktahuan dan kemalasan masyarakat untuk melakukan cross check informasi yang diterimanya.
Ada contoh menarik perilaku tak terpuji yang sangat berbahaya itu. Sebuah postingan menyebutkan bahwa semua Presiden Indonesia dari sejak Soekarno sampai Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono di Wikipedia tercantum nama orangtuanya. Hanya Presiden Jokowi yang tak ada. Bahkan juga disebutkan ibu Jokowi lahir tahun 1953- sesuatu yang tak masuk akal karena umur Jokowi saat ini sudah berusia 57 tahun.
Dengan lihai diurutkan nama Presiden Indonesia secara lengkap disertai link Wikipedia. Termasuk pula link Presiden Jokowi.
Pembuat informasi fitnah sengaja memanipulasi ketakpahaman dan kemalasan masyarakat. Masyarakat akan langsung percaya dengan informasi itu karena ketaktahuan dan kemalasannya mengecek. Padahal di Wikipedia sangat jelas tercamtum siapa orangtua Presiden Jokowi dan ibunya lahir tercantum 1943 dan bukan 1953 sebagaimana disebutkan dalam postingan hoaks itu.
Inilah manipulasi dan korupsi pemahaman yang belakangan marak. Masyarakat dijejali plesetan informasi bukan untuk paham tapi agar tersesat. Informasi disebarkan untuk menyesatkan dan bukan mencerahkan.
Pemahaman dimanipulasi agar seseorang salah persepsi akhirnya bersikap jauh dari proporsional. Sebuah kondisi makin melengkapi distorsi informasi dan komunikasi setelah hoaks, fitnah. (*)