Oleh : Miqdad Husein
Papua bergolak karena soal isyu rasisme mengarah ke mahasiswanya? Terlalu sederhana kalau membenarkan soal rasisme jadi pangkal utama gejolak di Provinsi paling Timur itu. Bahwa rasisme jadi titik masuk mungkin.
Apa iya hanya karena gejolak mahasiswa dari Papua di Jawa Timur mampu secara dasyat membakar Papua. Secepat itukah kekuatan terkoordinir dari kasus insiden mahasiswa sehingga meluluhlantakkan daerah eksotik itu?
Aparat kepolisian belakangan mulai mengungkap. Makin terbuka bahwa bara api di Papua ternyata memiliki desain sistematis. Begitu sistematisnya kekuatan yang berada di luar Indonesia ternyata ikut ambil bagian. Tukang kipas gencar memainkan perannya.
OPM memang riil ada. Namun reaksi mereka tak akan sampai seperti terjadi beberapa hari lalu itu jika sebelumnya tidak didesain sistematis.
Jangan lupa Papua hari ini jauh berbeda dengan kondisi di masa pemerintahan sebelumnya. Masyarakat Papua benar-benar mendapat perhatian cinta dari pemerintahan pimpinan Presiden Jokowi. Lihatlah dukungan masyarakat Papua pada Pak Jokowi pada Pilpres 2019. Sangat mencengangkan.
Karena itu aneh dukungan kepada Jokowi begitu besar kok tiba-tiba berubah menjadi amarah. Kalau bukan karena tukang kompor yang memang jauh-jauh hari sudah merencanakan hampir mustahil terjadi kegaduhan membara.
Papua memang mendapat limpahan rasa sayang dari Presiden Jokowi. Sangat luar biasa sehingga sempat sedikit menimbulkan rasa iri. Dana Otsus yang mencapai 8 trilyun lebih benar-benar jadi bukti rasa cinta. Belum lagi DAK dan DAU serta berbagai kebijakan lain yang di masa pemerintahan sebelumnya terabaikan seperti harga BBM dan kebutuhan lain dibuat hampir sama dengan daerah lainnya. Di sinilah perlu cermat menelusuri akar masalah. Sebab Papua saat ini memang telah berubah drastis.
Berarti ada pihak luar seperti AS ikut bermain karena pengambilalihan 51 persen saham Freeport? Mungkin saja. Namun jika menelusuri perjalanan penguasaan saham agaknya AS dan Freeport sebenarnya tak lagi mempermasalahkan. Jadi siapa?
Banyak yang bertanya ketika ada penegasan pemerintah menguasai 51 persen Freeport. Apa iya Freeport ikhlas begitu saja menyerahkan sahamnya dari yang hanya sekitar 9 persen menjadi lebih dari separuh. Secara logika bisnis manapun sebenarnya perlu dipertanyakan. Tapi kenapa yang 9 persen bisa drastis jadi 51 persen.
Jika perubahan kepemilikan yang luar biasa tidak rasional bagaimana sebenarnya duduk perkaranya? Ini yang menimbulkan spekulasi bahwa sebenarnya Freeport bukan memberikan sekitar tambahan saham 42 persen dan riil diterima pemerintah selama ini bukan 9 persen. Jadi?
Spekulasi paling rasional menduga selama Freeport ada di negeri ini saham yang diberikan bukan 9 persen. Bisa jadi jauh lebih besar. Hanya saja karena kongkalikong, dengan oknum penguasa di masa lalu, di era Orba, hanya 9 persen yang disetor kepada pemerintah. Lainnya jadi bancakan.
Bukankah selama Orde Baru praktis relasi Freeport dengan pemerintah sangat tertutup. Jauh dari hingar bingar sehingga spekulasi jadi bancakan seakan mendapatkan pembenaran.
Sudah pasti para penikmat saham itu gerah dan marah ketika pemerintahan Jokowi menguasai saham 51 persen. Tak ada lagi sasaran bancakan karena semua diambil alih pemerintah.
Nah mereka para penikmat saham itulah yang diduga belakangan banyak bermain mengaduk-aduk Papua. Mereka jelas tak rela kehilangan pundi-pundi emas yang selama ini dinikmati. Dengan segala cara mereka terus berupaya untuk kembali berpesta pora termasuk antara lain mengaduk-aduk Papua.
Masyarakat Papua sudah merasa diperlakukan adil oleh pemerintahan Jokowi. Mereka sudah merasa menjadi bagian NKRI. Kegaduhan yang terjadi diduga dipicu para petualang yang pundi-pundi emas haramnya telah disita pemerintah.