Oleh: Miqdad Husein*
Menyampaikan kritik di era sekarang dianggap sulit dan beresiko ditangkap polisi? Demikian tingginya resiko itu sehingga seorang Wakil Presiden RI ke-10 dan 12 sampai merasa perlu bertanya bagaimana menyampaikan kritik kepada pemerintah tanpa harus dipanggil polisi.
Pernyataan Jusuf Kalla, yang akrab dipanggil JK, jika mencermati rekam jejaknya jelas terasa aneh bin ajaib. Sama saja ajaibnya dengan pernyataan Kwik Kian Gie, yang sempat membandingkan kondisi sekarang dengan era Orde Baru.
Jika pernyataan itu disampaikan oleh anak yang lahir di atas tahun 1990 an mungkin bisa dipahami dan dimaklumi. Bisa jadi karena belum pernah mengalami pahit getir kehidupan di masa lalu, masa Orde Baru sehingga tidak memiliki perbandingan obyektif.
Baik Kwik apalagi JK adalah orang-orang yang sudah makan asam garam berada di jajaran pemerintahan. JK bahkan di era Orde Baru pernah menjadi anggota MPR RI tahun 1982-1999. Jangan lupa, JK pernah pula menjadi anggota DPRD Sulawesi Selatan dari Sekber Golkar tahun 1965-1968.
Dengan rekam jejak panjang JK yang luar biasa, menjadi bagian rezim Orde Baru, tentulah aneh bahkan menggelikan pertanyaan bagaimana menyampaikan kritik agar tidak ditangkap polisi. Seakan sekarang ini suasana demikian genting dan polisi main tangkap kepada mereka yang menyampaikan kritik. Atau JK punya contoh seseorang yang ditangkap karena mengkritisi pemerintah era pemerintahan Presiden Jokowi. Mungkin perlu disebutkan siapa mereka.
JK tahu bagaimana represifnya rezim Orde Baru, yang sama sekali tidak memberi ruang berbeda pendapat –bukan mengkritisi. Jika berbeda pendapat saja haram apalagi mengkritisi. Hilang tanpa jejak hal biasa di masa Orde Baru.
Itu artinya JK sudah pasti paham perbedaan antara era sekarang dengan di masa lalu. Sangat jauh. Ibarat langit dan dasar sumur. Bahkan dibanding era pemerintahan sebelumnya sekarang ini benar-benar luar biasa. Kebebasan mengkritisi sampai kebablasan bermetamorfosa menjadi hoaks, fitnah dan penghinaan terutama kepada Presiden Jokowi.
Ada ungkapan menarik bermuatan mengalihkan perhatian ketika proses hukum diberlakukan kepada Rizieq Shihab di era Presiden Jokowi. Digambarkan seakan pemerintah sekarang represif padahal proses hukum kepada Rizieq Shihab hampir seluruhnya delik aduan. Dan yang dicoba dilupakan dan dikaburkan data bahwa Rizieq Shihab pernah dipenjara dua kali di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ini saja sudah menggambarkan betapa berbeda era SBY dan era Jokowi.
JK mungkin lupa atau pura-pura lupa, bisa jadi juga pura-pura tidak tahu bahwa di masa Orde Baru puluhan bahkan ratusan ulama ditangkap. Banyak dari mereka yang bahkan tanpa diproses hukum. Masjid tak boleh bicara masalah sosial apalagi politik. Tempat ibadah hanya boleh bicara iman dan taqwa dalam arti seremonial.
Jangan pernah seorang khotib yang terbiasa membahas masalah sosial dapat tampil di masjid yang dikelola pemerintah dan pemerintah daerah. Apalagi khotib yang bersikap kritis. Bukan hanya diblacklist bahkan bisa jadi akan hilang tanpa jejak atau ditahan tanpa proses hukum. Paling tidak diintrogasi dibikin jatuh mentalnya.
Sekarang ini, siapa sih yang menyampaikan kritik ditangkap? Rizal Ramli, Rocky Gerung, Fadly Zon, yang seluruh omongnya nyinyir sehingga tak ada satupun yang dilakukan pemerintah dianggap baik aman-aman saja. Din Syamsudin, Gatot Nurmantyo bahkan Rizieq Shihabpun bebas. Rezieq bahkan ceramahnya tak pernah lepas dari sumpah serapah, makian bahkan hinaan kepada Presiden Jokowi dengan antara lain menyebut Jokodok. Rizieq saat ini diproses hukum sepenuhnya karena pelanggaran protokol kesehatan yang membahayakan masyarakat.
Oh ya, ada yang diproses hukum orang macam Nur Sugih, Alfian Tanjung, Maheer, Bachtiar Nasir. Benar mereka diproses hukum. Tapi jangan lupa, Nur Sugih, yang mulutnya berisi sumpah serapah diproses hukum karena menghina NU. Alfian Tanjung menfitnah Teten Masduki, Maher terkait penghinaan kepada Habib Lutfi. Ngak ada hubungan dengan pemerintah.
Bachtiar Nasir diproses hukum karena dugaan pencucian uang. Dia juga secara terbuka pernah menganjurkan revolusi. Dan yang menarik pernyataan JK sendiri saat masih Wapres terkait penetapan tersangka Bachtiar Nasir. “Siapapun yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkannya. Siapa saja, apakah pedagang, orang biasa, ustadz kalau melanggar ya diproses,” kata Jusuf Kalla. (Kompas.com, 7 Mei 2019).
Jejak digital memang luar biasa. Jadi, berhati-hatilah. Karena bisa jadi pernyataan hari ini justru bertolak belakang dari pernyataan sebelumnya. Bukan dinamika dan obyektivitas. Tapi lebih karena kepentingan yang membedakannya. Jelas ini bisa menyesatkan dan bikin gaduh. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.