Oleh : Miqdad Husein
Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah terlalu besar untuk diseret ke wilayah kepentingan politik instan. Apalagi hanya demi kepentingan ‘menguasai’ satu dua kementrian. Itupun, hanya sebatas siapa yang berhak menjabat pucuk kementrian. Sayangnya, kesadaran seperti itu sering terlupakan.
NU kadang demikian kukuh merasa Kementrian Agama sebagai jatahnya. Pernah ada peryataan yang mengatakan Kementriaan Agama harus dipegang orang NU. Terakhir pernyataan bahwa Kementrian Agama adalah hadiah negara untuk jamiyah NU.
Beda lagi dengan pemikiran kalangan tokoh Muhammadiyah. Sekalipun tidak seterbuka kalangan Nahdiyin, selalu dikembangkan pemikiran bahwa Kementrian Pendidikan merupakan jatah untuk Muhammadiyah.
Dua kementrian itu yang seakan sudah dikapling.Tidak jelas, sejak kapan klaim-klaim yang sebenarnya lebih merupakan retorika bernuansa kepentingan politik itu muncul. Juga, selalu tidak jelas, apa pijakan normatifnya. Ya namanya kepentingan politik, kadang alasan atau pijakan tidak penting. Yang lebih penting apa yang akan dicapai. Atau, dalam bahasa yang lebih terkesan akademis politik itu komunikasi sehingga penyampaianlah yang lebih penting ketimbang isi yang akan disampaikan. Artinya, kemasan kadang berbeda dengan isi. Jadi, sangat mungkin berbagai klaim tidak memiliki dasar tapi sengaja disebar agar mendapat pembenaran.
Jika berbagai pernyataan disampaikan para petinggi partai, ya sah saja. Partai merupakan instrumen politik yang memang dibentuk untuk kepentingan politik. Jadi, jika kemudian sibuk teriak sana, teriak sini wajar saja. Bantahan terhadap pernyataan sebagai respon mengedepankan kepentingan politikpun wajar saja.
Di sini benang hijaunya, mengapa mereka yang berpikiran waras menyayangkan apapun, yang mengatasnamakan NU dan Muhammadiyah demi kepentingan politik. Apalagi hanya sekedar demi ‘menguasai’ satu kementriaan. NU dan Muhammadiyah terlalu besar untuk jadi alat kepentingan tergolong ecek-ecek. NU dan Muhammadiyah urusannya kepentingan bangsa dan negara. Dan keduanya, saat ini merupakan penjaga NKRI. Yang menjadi kekuatan utama negeri ini sehingga masih tetap eksis seperti sekarang.
KH. Hasyim Muzadi berkali-kali menegaskan bahwa kebersamaan NU dan Muhammadiyah menjadi kekuatan utama yang menjaga negeri ini. “Masalah apapun yang dihadapi bangsa Indonesia, akan terselesaikan jika NU dan Muhammadiyah, masih bergandengan tangan,” katanya.
Jadi, NU dan Muhammadiyah telah memiliki saham terbesar sehingga menjadi penentu ke mana perjalanan dan keberadaan negeri ini. Apalah arti Kementrian Agama dan Kementrian Pendidikan dibanding peran besar itu.
Ini bukan pernyataan bombastis. Ada 30 ribu pesantren, yang dimiliki NU, yang bertebaran di negeri ini. Itu baru pesantren, belum lainnya. Betapa dasyat kekuatan sosial budaya dan bahkan secara politik dalam mengarahkan perjalanan negeri ini. Kecil sekali Kementrian Agama dibanding semua yang telah dimiliki NU.
Muhammadiyah? Tak kalah besar. Berapa puluh ribu lembaga yang dikelola Muhammadiyah baik bidang pendidikan, sosial maupun budaya. Bahkan ada joke tentang Kementrian Pendidikan. Kekuasaan Menteri Pendidikan Negeri, kalah besar dengan Mentri Pendidikan di lingkungan PP Muhammadiyah.
Baik Kementrian Agama maupun Kementrian Pendidikan serta Kementrian lainnya, pada akhirnya tak lebih merupakan representasi formal keseluruhan rakyat negeri ini untuk kepentingan bersama, yang di dalamnya ada saham besar NU dan Muhammadiyah. Jadi siapapun, yang duduk dalam kementrian apapun mau tidak mau harus memperhatikan NU dan Muhammadiyah, disamping lainnya.
Sayang sekali tentu saja, jika peran besar itu, yang kebersamaannya sangat menentukan keberadaan dan kedamaian negeri ini, harus terperangkap gesekan kecil, hanya karena kepentingan satu kementrian. Siapapun, baik dari keluarga besar Nahdatul Ulama maupun Muhammadiyah, perlu bersikap arif dan bijaksana. Janganlah, menyeret NU dan Muhammadiyah ke dalam pusaran kepentingan yang bisa jadi, tak lebih kepentingan sebatas tokoh bersangkutan alias ambisi pribadi. Bukan kepentingan riil NU dan Muhammadiyah, yang seperti kata KH. Hasyim Muzadi, ibarat sepasang sandal, yang dalam keseharian selalu bersama-sama menjaga NKRI.