JAKARTA, Koranmadura.com – Ilmuwan Yudi Latif menilai PDI Perjuangan memiliki sejumlah tantangan global yang penting untuk dipahami. Salah satu dari tangan itu adalah diverse democracy. Pasalnya, seluruh masyarakat demokrasi dunia tergagap-gagap merespons model demokrasi seperti ini.
Yudi Latif mengungkapkan hal itu saat hadir sebagai salah satu ahli dalam Focus Group Discussion (FGD) menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-50 PDI Perjuangan di kantor DPP partai itu di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis 5 Januari 2022.
Lebih lanjut Yudi Latif mengungkapkan, tantangan kedua PDI Perjuangan adalah menghadapi stagnasi dan krisis ekonomi di dalam situasi kesenjangan ekonomi yang lebar.
Situasi saat ini, kata Yudi Latif, membutuhkan empati dan solidaritas tinggi, namun nyatanya yang berkembang adalah saling benci dan menyangkal.
“Tantangan ketiga adalah bagaimana mengembangkan kemajuan peradaban dalam konteks global order yang juga ramah terhadap perubahan ekosistem lingkungan global. Jadi bagaimana dunia maju teknologi tapi juga harmoni dengan lingkungan,” kata Yudi Latif lagi.
Yudi Latif menambahkan, sebenarnya semua tantangan global itu sudah direspons oleh Pancasila. Sayangnya, orang Indonesia kerap tak sadari soal Pancasila dan justru berkiblat kepada demokrasi model AS, misalnya.
“PDI Perjuangan adalah jangkar atau pasak bumi bagaimana mengembangkan demokrasi dalam masyarakat multikultur. Cara Indonesia selesaikan masalah keragaman, misalnya. Maka masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim bersedia memberikan hak yang sama kepada minoritas,” urai Yudi Latif.
“Saya melihat modal dasar itu belakangan tergerus karena munculnya politik identitas akibat pengaruh global. Sehingga bagaimana ke depan kita kendalikan tendensi eksplosif politik identitas, PDI Perjuangan berada terdepan menghadapi masalah itu,” tegas Yudi Latif.
Sementara itu ahli dari CSIS, Philip Vermonte menyinggung soal perlunya PDI Perjuangan lebih memelopori penguatan kapasitas kader partai yang akan duduk di posisi strategis kenegaraan, khususnya di Parlemen.
Selama ini, PDI Perjuangan sudah bagus dengan sekolah partai. Namun Philip Vermoent melihat bahwa di DPR, kerap kali empat fungsi parlemen yang ada tak maksimal dilaksanakan karena keahlian yang kurang mumpuni.
Hal ini disebabkan hubungan parpol dengan ahli, atau hubungan scientist dengan politisi dan pejabat pemerintahan di Indonesia relatif miskin.
“Sehingga kerap keputusan politik pemerintahan dikritisi. Kalau parpol tak profesional dengan empat fungsi DPR itu, maka politik hanya akan dianggap menghasilkan hal buruk,” katanya.
Dia meneruskan, “Maka ke depan, bagaimana empat fungsi itu diperkuat melalui profesionalisasi di kader parpol sehingga mereka bisa menjalankan fungsinya dengan profesional.” (Sander)