JAKARTA-Kepatuhan pembayar pajak, terutama perusahaan skala besar dalam membayar pajak masih sangat rendah. Data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian menyebutkan sekitar 60 persen perusahaan tambang di Indonesia tidak membayar pajak. Hal tersebut dipastikan menjadi hambatan berat bagi korps Pajak (DJP) menggenjot penerimaan pajak negara. “Saya tidak bisa terlalu banyak bicara karena ini masalah kepatuhan termasuk yang sesuatu tidak bisa kita buka,” kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany, saat ditemui dikantornya, Jakarta, Kamis (4/7).
Dia mensinyalir, banyak perusahaan tambang yang melakukan ekspor tapi enggan membayar pajak. Untuk itu, Ditjen pajak juga meminta bantuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi perusahaan tambang yang bandel. “KPK sudah prioritaskan sektor tambang sebagai sektor yang harus diawasi karena disana banyak stakeholder bukan hanya Ditjen Pajak tapi juga perusahaan tambang, Pemda, instansi lain, penegak hukum,” kata Fuad
Ditjen Pajak juga tengah meminta data-data perusahaan pertambangan di Indonesia ke Kementerian ESDM. “Jadi butuh bantuan berbagai pihak yang terkait pertambangan,” kata Fuad.
Masalah ketidakpatuhan perusahaan tambang membayar pajak itu sebelumnya sudah dimunculkan Ketua KPK Abraham Samad. Dia mengungkapkan, sekitar 60 persen perusahaan tambang di Indonesia tak membayar pajak dan royalti kepada negara.
Untuk itu KPK bertekad memerkuat regulasi untuk meningkatkan tata kelola dan penerimaan negara dari sumber daya alam tersebut.
Sebelumnya, Ketua KPK Abraham Samad mengungkap perilaku buruk perusahaan tambang di Indonesia. Menurutnya, sebagian besar perusahaan tambang di Tanah Air tidak membayar pajak dan royalti ke negara. “Hampir 60 persen perusahaan tambang, mereka tak bayar pajak dan royalti ke negara. Baik itu di Kalimantan, Sulawesi, Papua dan daerah lainnya. Kita lihat infrastruktur di daerah kaya-kaya itu rusak, kemiskinan terjadi,” ujar Abraham.
Menurut Abraham, sektor pertambangan baik itu batu bara, emas, mineral dan lainnya hanya dinikmati oleh segelintir orang. “Yang kaya hanya bupati, gubernur dan segelintir orang. Adanya monopoli di daerah dengan memberikan izin pertambangan. Yang terjadi yang kaya pengusaha-pengusaha hitam dengan penguasa-penguasa,” jelas Samad.
Pihaknya berjanji akan masuk ke wilayah tersebut untuk menyelamatkan sektor pertambangan agar pendapatan negara lebih besar lagi. Sebab kata dia, jika sektor tambang dikelola dengan baik serta taat membayar pajak dan royalti ke negara, maka negara akan memperoleh pendapatan sebesar Rp 15.000 triliun per tahun. “Maka kita akan ketemu Rp 15.000 triliun per tahun di sektor sumber daya alam dari migas, emas, dan tembaga. Rp 15.000 triliun dibagi penduduk Indonesia 240 juta dibagi 12 bulan maka akan ketemu Rp 20 juta perbulan. Bayangkan satu orang penghasilannya 20 juta,” jelas Samad.
“KPK ingin memperbaiki regulasi pertambangan. Padahal sektor penerimaan pajak dan pendapatan negara 78 persen dari pajak. Tapi ini gak bisa dioptimalisasi. Karena banyak manipulasi,” pungkas dia. (gam/abd)