Oleh : Benazir Nafilah
Dadaku serasa meledak saat menerima undangan darimu beberapa hari sebelum kau resmi jadi istrinya. Istri dari seorang lelaki yang sebelumnya belum pernah kukenal. Potongan tubuhnya yang nyaris aku. Matanyapun mirip dengan mataku, sedikit picing namun tajam, meski akhirnya tetap tak bisa menembus jantung hatimu.
Entah apa yang harus aku perbuat. Aku memang belum pernah disambar petir, tapi kurasa, rasanya pastilah lebih dari itu. Tanganku gemetar, undangan itu serasa berat saat berasa ditanganku. Aku tak bisa membacanya. Bukan karena aku tak bisa mengeja huruf-hurufnya, tapi rasanya aku mendadak buta aksara. Cukup aku tahu kalau namanya telah terpatri di undangan yang kau titipkan. Undangan coklat itu terasa pahit dilidahku; menikah: Kamila dengan Ainur.
Tubuhku serasa lebih ringan dari kapas, seakan terbang ke hutan-hutan kenangan. Menapaki siang yang panas dengan keringat yang mirip bau ikan asin, semua usaha ini demi untukmu Kamila, meski harus kau patahkan karena satu hal dan beberapa hal lain yang tak ku mengerti muaranya.
Tak perlu aku ingatkan tentang gerimis yang menyerbu wajahmu karena dunia juga tau. Tanganmu menyeka pipimu yang kini telah berbalut make-up berwarna pink. Ingin sekali tanganku mencoba mengusapnya seperti dulu, meski tak jua kau izinkan. Kamu cantik hari ini, ingin rasanya aku desirkan dekat kerudungmu yang biru, yang berhias bros kembang dulu. Kini telinga itu berhias bunga melati, melingkar membungkus kepalamu. Dan akupun harus menelan kata-kata itu sambil menikmati suguhan ice yang membuat dingin ditenggorokan, namun bara api tetap tak bisa padam dihatiku.
Aku berjalan menuju tempat tamu-tamu dipadatkan dalam kursi plastik. Bibirmu yang berhias lipstick merah mawar merekah dimataku. Senyummu datang menyambutku, meski harus ku diamkan karena bodyguard itu berdiri disampingmu memegang keris berhias melati. Siapa yang akan merebutmu, pikirku sejenak. Meski tiba-tiba perasaan itu timbul bersamaan dengan ucapanku sendiri. Aneh rasanya.
Aku rebahkan tubuhku dalam senderan kursi plastik. Mataku sesekali mencuri geliat wajahmu yang tak biasa aku temui sebelumnya. Mata yang berhias bulu-bulu lentik membuatku merinding. Adakah bayangku disana Kamila? Pipi yang kemerahan tanpa debu dan gerimis itu. Kerudung yang dibuat menjulang ke langit berhias melati dan hiasan warna pelangi.
Masih belum sepenuhnya aku mengerti. Suaramu yang halus dan renyah membuatku selalu padamu. Pikirmu yang selalu matematis membuat diriku kini dilematis. Apa ini yang namanya kehilangan.
Ku coba ungkap tabir ini/ Kisah antara kau dan aku/ Terpisahkan oleh ruang dan waktu/ Menyudutkanmu meninggalkanku/ Sejujurnya ku tak bisa/ Hidup tanpa ada kamu aku gila/ Seandainya kamu bisa/ Mengulang kembali lagi cinta kita/…
Kau yang selalu duduk di depan kursi Indra. Dengan bunyi keyboard yang kau mainkan tak beraturan, seperti hatiku saat ini. Sesekali Beni menimpali kata-kata yang membuat lesung pipitmu timbul tenggelam. Hawwah… ucapmu sambil meringis menahan tawa saat kau dan aku diledekin sebagai sepasang kekasih. Memang iya jawabku dalam hati. Jujur aku senang, meski kau tertawa tipis sambil melirikku diam namun dalam.
Tiba-tiba sambutan di pesta pernikahanmu membuatku tertegun, tak terasa ice mencair tak berbentuk. Semuanya telah meluber dalam segelas yang tiba-tiba menjadi lautan. Dadaku membeku. Dadaku sesak ditumbuhi wajah lelakimu. Ya Tuhan, apalagi yang Engkau rencanakan untukku.
Hidangan kedua datang, meski sebenarnya aku tak begitu lapar, tapi aku paksakan saja terus melahapnya, karena jika tidak perjalanan yang aku tempuh dari Sumekar ke Gerbang Salam cukuplah mengoyak ususku. Cacing dalam perutkupun pasti berdangdut seperti alunan musik yang ku dengar saat itu. Poko’e ngojek… Poko’e ngojek. Maaf, maksud saya Poko’e joget… Poko’e joget.
Akhirnya habis juga hidangan kedua itu. Tapi tetap saja aku tundukkan kepala mencoba mengingat-ingat lagu mengheningkan cipta, meski ku tahu kau bukan pahlawan. Tapi bagiku saat inilah mati juga harapanku padamu. Sesekali aku dongakkan kepala, hanya saja aku takut mata kita beradu. Terpaut lama lalu Ainur suamimu tahu kalau-kalau tidak ada apa-apa diantara kita. Memang tidak ada apa-apa Kamila, meski aku yang apa-apa padamu.
Siang terus menyengat sedang adzan Ashar berkumandang bercampur lagu-lagu yang dipelankan oleh operator. Kaupun baru saja keluar untuk kedua kalinya setelah berganti busana. Kau yang berjalan sendiri-sendiri tanpa melingkarkan tanganmu pada Ainur. Berjalan menunggu salam dan selamat dari para tamu di ujung pintu meski tanganmu yang berhias pacar berebut mengelus baju batikku yang berwarna merah hati.
Kini tiba saatnya berfoto. Indra, Beni dan Fery telah berada di atas pelaminan. Kakiku kram meski akhirnya aku menyalamimu dekat Ainur yang erat menggenggam keris. Selamat ucapku singkat. Terimaksih ucapmu lirih meski kau tahan tangan ini. Aku rasakan darah mengalir bersama embun. Naik turun cepat ke ubun-ubun dan tiba-tiba sudah sampai kembali di jempol kaki tanpa terasa. Tanganmu basah, dingin dan halus ucapku dalam hati.
Aku turun dari pelaminan, bukankah kita sudah bersanding beberapa detik di atas sana meski rasanya takkan sama dengan yang berjam-jam menemanimu. Segera pulang. Dalam mobil bersama rombongan teman-teman, aku sandarkan badan pada kursi empuk meski tak seempuk kursi pelaminan. Aku buka tablet yang banyak berisi fotomu. Foto pernikahanmu. Tiba-tiba teman sebelahku memutar lagu dan akupun terhanyut.
…/ Ku ingin amnesia/ Ingin aku benar benar lupa/ Lupa segala kisah cintaku/ Kisah kita yang terlalu kuat/
Ku ingin amnesia/ Sakitnya karena dicintaimu/ Mengapa tak bisa lupakanmu/ Mengapa sulit pergi darimu/ Ingin rasanya ku pergi saja/ Ku ingin pergi pergi darimu/ Sampai akhirnya ku buka mata/ Ku lupa segala-galanya/ …
Akh tidak, aku tak mau hanyut. Itu lagu mellow. Aku putar saja musik di handphoneku. Akulah sang mantan.