JAKARTA- Pemerintah belum lama ini menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium dan Solar masing-masing sebesar Rp 500 per liter. Maka dari itu harga premium baru sebesar Rp 7.300 per liter dan Solar baru Rp 6.900 per liter. Namun kebijakan ini dikritik Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) Faisal Basri.
Menurutnya, pembentukan harga BBM belum jelas sehingga mengakibatkan harga Premium di Indonesia terlalu mahal. Hal ini terjadi karena pemerintah masih menggunakan hitungan kuno dalam menentukan harga BBM. “Kalau pakai rumus ini, harga Premium makin dekat ke Pertamax. Menurut kami Premium terlalu mahal, karena rumusnya kuno. Sekarang RON 88 kan sudah tidak dijual di pasar, ‘proxy’-nya pakai Ron92,” ujar Faisal Basri saat konferensi pers di Plaju, Jakarta, Rabu (1/4/).
Kebijakan penghapusan RON 88 dinilai Tim harus segera dilaksanakan untuk menekan inefisiensi di tubuh PT Pertamina (persero) selaku BUMN yang mengadakan BBM.
Berdasarkan data yang diperoleh TRTKM, harga gasoline di Global Petrol Prices hanya sekitar Rp6.700 per liter. Padahal, gasoline di dalam standar Global Petrol Prices adalah setara RON 92. Sementara di Indonesia, gasoline disetarakan dengan RON 88 karena RON 88 sudah tidak lagi dihasilkan di pasar global. Harga gasoline Indonesia adalah Rp6.800 per liter.
Di samping itu, jika ingin membandingkan dengan harga RON 95 dan RON 97 di Malaysia, harga RON 88 atau setara premium di Indonesia jauh lebih mahal. Harga RON 95 di Malaysia pada periode Maret-April tahun ini hanya senilai Rp6.908 per liter (dengan kurs jual BI 31 Maret 2015). Sementara itu, harga RON 97 di negara itu sejak 1 April senilai Rp7.971, sudah termasuk pajak sebesar 6 persen.
“Masa lebih murah dari harga keekonomian? Keekonomian versi Pertamina, tapi sebenarnya harga ketidakefisienan. Kita tidak dalam posisi melemahkan Pertamina. Kita ingin Pertamina kuat, tapi dengan cara yang benar,” katanya.
Selain itu, TRTKM juga mengkritisi perhitungan alpha dalam komponen harga BBM yang selalu berubah-ubah. Biaya alpha merupakan komponen harga yang terdiri dari biaya distribusi dan margin keuntungan penjualan.
Sebelum subsidi premium dilepas, biaya alpha BBM senilai Rp728 per liter. Lalu, per 1 Januari berubah menjadi Rp891 per liter. Perubahan itu disebabkan adanya perubahan formula harga dari menggunakan Mean of Platt’s Singapore (MOPS) menjadi Harga Indeks Pasar (HIP) BBM yang sedikit lebih tinggi.
Setelah itu, biaya alpha kembali naik per 19 Januari menjadi Rp1.022 per liter dan pada 19 Februari turun menjadi Rp1.011 per liter.
Pemerintah, lanjutnya, dilihat masih mereka-reka formula harga BBM yang pasti. Ia menyarankan pemerintah bersama Pertamina untuk dapat merumuskan secara pasti bagaimana formula biaya alpha BBM.
“Sudah secara jelas, menghitung BBM itu rumusnya berubah-ubah. Berdasarkan rumus itu keluar lebih mahal, tetapi harga BBM tidak naik Rp1000, naiknya Rp500 saja. Pertanyaannya, apakah rumusnya salah? Padahal RON 97 lebih murah. Ayo kita mantapkan rumusnya,” ucapnya.
Perhitungan yang tidak konsisten itu juga dinilai Tim karena Pertamina menghitung harga dengan formula RON 92 yang kemudian dikurangi agar setara dengan RON 88. Itu dilakukan lantaran RON 88 tidak lagi dijual di pasar global, sehingga tidak ada acuan harga.
“Jadi perlu transparansi supaya tidak sesukanya menyampaikan versi perhitungannya, harus ada versi yang mantap,” tukasnya.
(GAM/ABD)