Pemerintahan Jokowi dengan gagasan besar membentuk Poros Ma-ritim Dunia membuka asa bagi sektor kelautan. Termasuk di dalamnya potensi wisata bahari. Konsep promosi wisata bahari dimunculkan sebagai bentuk kecintaan terhadap negara dengan pemberian akses kepada wisatawan domestik untuk berkunjung dan menikmati keindahan bahari Indonesia. Selama ini pengembangan wisata lebih terkonsentrasi pada wisata berbasis darat. Sedangkan wisata bahari mulai digarap baru-baru ini.
Terbilang paradoks mengi-ngat Indonesia memiliki panjang garis pantai 95.181 km dan jumlah pulau mencapai 17.508. Wisata bahari kita hanya menyumbang 10 persen bagi pendapatan negara. Sementara Malaysia menyumbang 40 persen. Padahal, Indonesia berpunya 33 destinasi wisata selam. Sedangkan Malaysia hanya punya 11.
Momentum “menghadap ke laut” ala Pemeritahan Jokowi tentunya tidak bisa dikerjakan sendirian. Koneksi antarkementerian merupakan keniscayaan. Kendala utama wisata bahari kita adalah infrastruktur yang minim. Maka, pengembangan jalan raya, marina, dermaga, pusat bisnis, restoran, hotel, dan resor merupakan deretan sarana prasarana yang mesti diperbaiki.
Setelah kemasyhuran Raja Ampat, Wakatobi, Bunaken, dan Bali, pemerintah mengembangkan potensi bahari di pulau-pulau terkecil dan terluar. Maka, dibentuklah Kawasan Ekonomi Khusus Maritim (KEKM) yakni: Pulau Kolepon (Merauke), Kepulauan Tanimbar (Maluku), Pulau Subi Kecil (Natuna), Pulau Selaru (Sangihe), dan Pulau Simelue (Aceh). Pemerintah ingin membangun kawasan bahari dari pinggir. Alasan utama pemilihan lokasi tersebut juga berdasar untuk menggaet wisatawan mancanegara dari Australia, Timur Tengah, Thailand, dan Jepang.
Inovasi Pelni
Sulistyo Wimbo Hardjito (2015) menyatakan bahwa wisatawan yang pergi ke pulau terpencil macam Labuan bajo, 90 persen lebih merupakan wisatawan mancanegara. Saat ini, akses menuju ke sana dirasa sulit. Bahkan tempat menginap juga sulit. Praktis, biaya yang dikeluarkan sangat besar. Hal ini menyebabkan kunjungan wisatawan domestik terbilang sangat rendah. Mereka lebih memilih berwisata ke luar negeri.
Oleh sebab itu, hal ini merupakan celah bagi Pelni untuk membuat program destinasi wisata dengan memberikan bujet terjangkau. Inovasi Pelni di antaranya floating hotel. Kapal-kapal Pelni dibuat seperti hotel terapung. Dengan membawa konsep hotel terapung, kapal Pelni hadir di Anambas (Sumatera), Karimunjawa (Jawa Tengah), Derawan (Kalimantan Timur), Bunaken (Sulawesi), Banda Naira (Maluku), Tomini (Sulawesi), sampai ke Wayag (Papua).
Terobosan yang telah dilakukan Pelni lainnya ialah membuat paket wisata bersebut Let’s Go to Raja Ampat dan Let’s Go to Wakatobi. Tak cukup di situ, November 2015, Pelni menggelar paket wisata Let’s Go to Banda Naira dan Let’s Go to Anambas. Langkah itu dilakukan lantaran Pelni ingin memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi wisatawan berupa aksesibilitas dan akomodasi.
Selain floating hotel, asas fasilitas dasar kapal Pelni juga dirombak. Toilet diperbaiki sedemikian rupa sehingga menjamin kenyamanan penumpang. Untuk urusan itu, terwarta Pelni menghabiskan duit sampai Rp3 miliar. Wujud nyata kontribusi Pelni di sektor wisata bahari adalah pembangunan pariwisata bahari di Raja Ampat, misalnya, ternyata memberi nilai tambah perekonomian masyarakat di Papua Barat. Hal tersebut memicu kesadaran masyarakat untuk terus menjaga wilayah perairan dari kerusakan.
Kapal Pelni juga dilengkapi kafetaria dan sarana bermain untuk anak. Ke depan, Pelni perlu menyediakan wisata belanja suvenir dan pembangunan museum bahari sebagai pelengkap atribut wisata kebaharian. Pelni memanfaatkan program paket wisata bahari selain menguntungkan secara finansial, juga memanfaatkan waktu singgah (port stay) di pelabuhan. Boleh dikata, program wisata bahari bersebut Pelni Tour ini menjadi amunisi baru sebagai wujud eksistensi. Namun, peran Pelni akan sia-sia manakala hanya berjalan sendirian. Berkoordinasi dengan pemerintah setempat, memantau kesiapan vendor, dan ketersediaan pemandu wisata merupakan sebagian langkah sinergitas agar pelaksanaannya dapat berjalan baik.
Masihkah relevan berwisata dengan kapal? Sebagai perbandingan, untuk menuju ke Kepulauan Anambas, misalnya, dengan menggunakan pesawat, wisatawan perlu terbang ke Tanjung Pinang. Lalu, dilanjutkan dengan pesawat kecil me-nuju Bandara Matak. Ditambah 15 menit perjalanan laut dari Pulau Tarempa –tempat penginapan wisatawan.
Masalahnya, penerbangan bergantung penuh pada cuaca. Penerbangan me-nuju atau dari Matak tidak selalu terjadwal lancar. Lalu bandingkan dengan menggunakan KM Bukit Raya –satu-satunya kapal Pelni– yang singgah di Tarempa nyatanya dapat dimanfaatkan sebagai hotel terapung dan mengajak wisatawan untuk snorkeling dan menyelam.
Alkisah, pada 1994, Max J. Ammer dan Anita Matahari mulai membangun kawasan wisata bahari Raja Ampat. Keduanya mengedukasi masyarakat setempat untuk merawat terumbu karang dan membuat peternakan koral. Spirit nostalgia itu kiranya bisa ditransformasikan Pelni dengan mengenalkan Raja Ampat-Raja Ampat lainnya kepada masyarakat dunia.
Dalam konteks keindonesiaan, operasional pelayaran Pelni dari Barat sampai Timur Indonesia membentangkan kesadaran terutama wisatawan domestik untuk merajut persaudaraan sesama anak bangsa. Wisatawan dari Sumatera bisa menapaktilasi perjuangan Bung Hatta di Banda Naira. Begitu pun wisatawan asal Sulawesi bisa mengarungi keindahan Karimunjawa sekaligus menjejaki spirit emansipasi Kartini. Kepingan-kepingan eksotisme Nusantara itu nyatanya bisa terangkut dengan menumpang kapal Pelni. [*]
Oleh: Muhammad Itsbatun Najih
Esais; Pemerhati Kajian Kemaritiman